Seorang petugas rumah tangga.menemukan jazad terduduk layu di ranjang kayu. Di tangannya masih tergenggam selembar kertas warna kecoklatan. Agaknya itu sebuah surat yang diselundupkan seorang kurir ke kamar Ling Ling. Surat Den Jambul itu selain mengisahkan tentang kerinduan juga memberi keyakinan pada Ling Ling bahwa kalaupun di dunia tidak dapat dipersandingkan dalam sebuah perkawinan, ia yakin di akhirat Tuhan akan mempertemukan mereka. . . . . !
Berita kematian Ling Ling segera menyebar. Tak terkira sedih dan masgul hati Den Jambul. Ia seperti kehilangan gairah hidup. Siang-malam Den Jambul berdoa untuk dipertemukan dengan kekasihnya itu.
Agaknya doa Den Jambul terkabul bukan di akhirat. Beberapa minggu kemudian seorang gadis datang malam-malam. Mengetuk daun pintu yang segera dibuka dari dalam. Harum, semampai, putih dan berbusana sangat indah. Den Jambul agak pangling. Perempuan itu berdiri di depan pintu dengan senyumnya yang menggetarkan. Angin malam bertiup lumayan kencang. Rintik gerimis sejak sore mengguyur perkampungan itu. Sepi, mistis.
“Siapa? Ling Ling. . . . . .?” tanya Den Jambul ragu-ragu. Seketika ia ingat calon isterinya itu sudah meninggal dunia. Bulu-bulu di tengkuk dan lengannya segera berdiri.
Tidak ada jawaban. Perempuan itu langsung saja melangkah ke dalam rumah besar milik Den Jambul yang kaya-raya dari hasil bisnis penangkapan ikan laut. Hasil tangkapan perahu-perahu Den Jambul yang selalu melimpah itu tak lepas dari bantuan dari ibunya, sang penguasa Pantai Selatan.
Sikap perempuan serupa Ling Ling itu tak urung membuat kelelakian Den Jambul terusik. Serupa ular derik yang sedang asyik bergelung menunggu mangsa, tak dinyana mangsa pun tiba. Seketika pula semua jadi lupa. Ia terpana, terlena, dan akhirnya pulas dalam pelukan mimpi tak terkirakan indahnya.
***
Sahdan malam-malam perempuan misterius itu kembali datang. Waktunya hampir sama. Jelang tengah malam. Saat angin semilir, gerimis merinai, dan gejolak kelelakian sang jomblo sendang di puncak kerinduan. Bayangan pada Ling Ling dengan senyum, sikap dan tutur-kata yang lembut segera lenyap digantikan sosok lain yang lebih nyata. Penampilannya hampir serupa. Namun yang ini sudah begitu pasrah dan menyerah, seolah menyediakan diri untuk isteri nan setia menerima pelampiasan rindu-dendam si calon pengantin yang urung terlaksana. Den Jambul pun tak sempat berpikir panjang siapa sesungguhnya yang mendatanginya.
***
Satu siang tiga bula kemudian. Den Jambul sedang duduk santai di depan teras. Merokok kretek dan minum kopi panas di cangkir berukir kesayangannya. Ia baru pulang dari dermaga kecil tempat perahu-perahu ikannya ditambatkan. Hasil tangkapan hari ini kurang menggembirakan. Laut berombak besar. perahu tidak berani menjaring ikan sampai ke tengah laut.
Maka wajah Den Jambul kecut. Wajah itu tambah muram manakala ingat dalam dua minggu terakhir perempuan yang selama ini kerap datang jelang tengah malam telah mangkir. Ia berpikir apakah perempaun itu telah pindah ke pelukan lelaki lain? Atau jangan-jangan ia tak pandai lagi melayani perempuan misterius itu.