Ini kisah terjadi puluhn tahun silam. Jadul banget ya? Yo ben! Kisahnya Den Jambul yang nama aslinya Denmas Ronggo Rodokerow. Ia masih keturunan kraton. Namun ya sekadar keturunan saja, itupun tidak diakui karena ia konon hasil perselingkuhan antara petinggi kraton dengan seorang gadis desa yang kebetulan cantik-molek nan jelita. Gadis desa itu tak lain jelmaan Ratu Selatan. .. .hhiiiih!
Maka Den Jambul tumbuh menjadi pemuda yang agak slebor, berhati kendor, dan sering tampil menor. Gilanya ia tertarik seorang gadis yang berparas cantik, putih, langsing dan cerdas. Ia keturunan saudagar kaya bermata sipit. Ya, tentu saja kisah percintaan dengan gadis itu –namanya Ling Ling, dan sangat marah ketika dipanggil Ling Lung- tidaklah mulus. Janji bertemu dan berkencan harus dilalui dengan ketegangan. Keluarga besar pihak Ling Ling menolak keras kehadiran Jambul. Jangan lagi untuk melamar dan menikah, untuk berpacaran pun ogah. Itu hanya mimpi si Jambul di siang bolong. Alias bohong. Dalam bahasa kekinian hoax bin howekk. Ya, siapa yang bergembira bersuamikan seorang lelaki calon jembel.
Namun cinta Den Jambul sangat besar. Tidak dapat diukur dengan besarnya gunung Semeru dan luasnya samudra Pasifik. Lebih dari itu tentu. Dan aneh bin ajaib romansa beda suku itu tidak bertepuk sebelah tangan. Tepuk tangan? Ya! Nada suaranya jelas, gegap gempita suara tepukan. Ohh, itu suara para suporter kesebelasan Persib yang merayakan kemenangan timnya setelah sebuah gol Jajang bersarang manis ke gawang PSMS Medan pada final kompetisi Galatama.
Adjat Sudradjat melompat tinggi sekali untuk merayakan golnya, sementara teman-teman setim menunggu di bawah termangu-mangu. Ohh, rupanya tubuh Kang Adjat nyangkut di atap tribun. Mau bergaya malah dapat malu. Diperlukan bala bantuan untuk dapat menurunkannya dengan hati-hati agar tubuh Kang Adjat tidak terjatuh dari ketinggian, agar kemudian dapat melanjutkan pertandingan yang bersisa hanya lima menit saja. Skor satu untuk PSMS dan dua untuk Persib.
Pada detik-detik akhir pertandingan, palang pintu Robby Darwis melakukan blunder amat merugikan. Robby bermaksud menghalau jauh-jauh tendangan keras Suharto ke arah gawang. Malang (bukan Biltas apalagi Banyuwangi), si kulit bundar buatan pengrajin bola Majalengka itu justru bergerak liar. Serupa satwa liar, petugas liar, dan apalagi nafsu liar, semuanya ‘unpredictable’ alias ngggak nyangka begitu jadinya. Sayang seribu kali sayang putaran bola itu melintir, melesat, memantul, dan akhirnya . . . . .. Bukannya menjauhi gawang, sebaliknya justru melesak dengan gagah ke gawang Persib. Gol, gol, gooolllll! Skor dua sama. Bobotoh lunglai. Tidak ada sorak-sorai, tanpa kehebohan. Yang ada justru mulai marah, tidak terima, dan buntutnya mudah diduga: rusuh!
Wadouw, jadi ngelantur menjadi reportase sepakbola. Punten pisan, ahh. Nah, kembali ke cerita inti. Setelah beberapa purnama kisah romansa kucing-kucinang dua sejoli berlangsung genting dan menegangkan (sebab taruhannya nyawa bagi keduanya), sebuah kesalahan kecil harus terjadi. Den Jambul yang selama ini berpura-pura menjadi kuli angkut dalam perusahaan Babah Ho Liong (babenya Ling Ling) tak pelak ketahuan belangnya. Biasanya Den Jambul berpakaian layaknya kuli lain. Kulit kehitaman, rambut dan pakaian tak terurus, tanpa alas kaki, dan pandangan mata selalu tertunduk di depan para tauke.
Sore itu Den Jambul berdandan habis-habisan di kamar sempit tempat para kuli dibuatkan bangunan asal jadi untuk tempat tidur. Ia ada janji di bawah pohon ketapang di sudut alun-alun kecamatan Tompel. Saat itu Ling Ling berpura hendak ke rumah gurunya. Dan di bawah pohon katapang itulah terjadi peristiwa menyedihkan: terpergok. Mereka tertangkap basah sedang bergandengan tangan sambil mendendangkan sebuah lagu Titik Sandhora-Muksin Alatas. Judul lagunya ‘Kisah Adam dan Hawa’, dinyanyikian secara duet, saling bersahutan. Romantis nian. Mungkin begitu pula warna hati Den Jambul dan Cik Ling Ling.
“Nah, apa yang kucurigai selama ini terbukti sudah. Kalian berpacaran dan hendak melarikan diri untuk menyalamatkan kisah cinta kalian, ‘kan. . . . .?” ujar Kok Han Han dengan bengis.
Anak sulung Babah Ho Liong itu segera menyeret Ling Ling untuk pulang. Apapun kata Den Jambul maupun Ling Ling untuk berkilah tidak dihiraukan Kok Han Han. Di belakang lelaki muda itu ada beberapa orang tukang pukul bangsa pribumi. Den Jambul terpaksa melarikan diri agar tidak kena hantam para tukang pukul.
Alkisah, Ling Ling di sekap di tempat yang aman dan terpencil. Di sebuah ruangan kecil hanya ada lampu tempel minyak tanah, buku-buku adat-budaya dan sejarah Tiogkok, dan ranjang kayu dengan kasur kapuk randu tipis. Daun jendela dapat dibuka bila siang hari, namun ada teralis besi terpasang di sana untuk dapat meloloskan diri.
Ling ling hanya dapat menyesali nasibnya. Siang-malam ia menangis. Ia tidak mau makan, tidak mau minum, dan hanya melamun dan menangis. Dalam beberapa bulan saja tubuhnya jadi kurus-kering. Ia selalu menolak bila ingin dinikahkan dengan perjaka pilihan ayahnya. Dan suatu hari Ling Ling ditemukan telah tewas.