Menarik sekali tulisan Abdul Rahman (AR) di Kompasiana yang membandingkan perbedaan perlakuan pasar tradisional dengan pasar modern terhadap konsumen. Menurut AR pasar tradisional memperlakukan konsumen sebagai manusia, sedangkan pasar modern memperlakukan konsumen sebagai angka. Cukup jelas perbandingan serta latar-belakang  penilaiannya.
Meminjam ide perbandingan itu saya coba menerapkan posisi penulis dan pembaca di blog Kompasiana, apakah sebagai manusia ataukan masih sekadar angka. Ini pertanyaan iseng-iseng, tapi bisa jadi sangat serius. Tiap orang boleh berpolemik. Dari mulai yang bertahan, yang menulis sangat produktif, yang mendapatkan predikat ini dan itu dalam pesta tahunan bertajuk Kompasianival, serta yang menjadi langganan juara dalam acara lomba ini dan itu, dan seterusny. Meski banyak yang sekadar menulis untuk berbagi, kadang nongol dan seringkali lenyap tanpa suara, tanpa predikat, tanpa prestasi, tidak mengharap apresiasi, tidak mengejar label HL-NT-TP, hingga penulis langka yang lebih dekat dengan status silent reader.
Angka, Iklan
Kalau diperturutkan dengan soal angka rasanya semua memang diangkakan: berapa jumlah tulisan, jumlah dibaca, jumlah komentar, nilai, headline dan seterusnya. Angka semua, tak lebih tak kurang. Angka itu absolut, meski ada keluhan ketika dilakukan upgrade sistem terjadi pengurangan/penghilangan/penghapusan atau entah istilahnya apa sehingga angka absolut itu jadi tidak menentu. Keluhan atas kerusakan dan error mengharuskan sejumlah penulis bersikap sangat sabar, selebihnya menjadi sangat tidak sabar/sebel/sewot/ngambek dan pundung, atau cuek saja alias egp. Â
Yang menjadi lebih memprihatikan pihak Admin dinilai sering bergeming saja. Tidak berreaksi, tidak memberi penjelasan, tidak bilang ba-bi-bu dan bla-bla-bla, dan seterusnya.
Sejumlah penulis boleh jadi mabuk kepayang karena tulisannya tayang terus menerus beberapa bulan dan mengumpulkan angka pembaca begitu fantastik dan bombastis. Begitu piawai, unggul, dan mumpuni satu tulisan dalam kacamata Admin sehingga bahkan penulisnya telah raib pun masih ada artikel yang ditampilkan.
Tentu pada akhirnya angka pula yang menjadi hitung-hitungan manajemen Kompasiana. Ini soal jumlah karyawan, juga soal kesehatan manajemen, soal prospek dan pengembangan bisnis, dan seterusnya yang menjadi tuntutan maha penting dari perusahaan induk. Sementara itu  para penulis dan pembacanya tetap menjadi angka-angka yang akan dijual kepada pemasang iklan. Dan dari iklan itulah bendera Kompasiana terus berkibar, makin tinggi melambung, dan suatu hari nanti mungkin sampai juga di puncak Gunung Semeru, bahkan Gunung Himalaya.
Manusia, Pencapaian
Pasti memprihatinkan, dan kalau perlu disebutlah menyakitkan hati, bila seseorang hanya dihitung sebagai angka, sebagai nomor-nomor, sebagai sesuatu yang dilabeli tanpa perasaan-hati-pikiran dan rasa senang/bangga/sedih/malu. Dalam budaya Minahasa dikenal istilah Sitou Timou Tou, yang arti harfiahnya kurang lebih  ‘memanusiakan manusia yang lain’. Kearifan serupa tentu ada pada suka bungsa lain di tanah air.
Penulis dan pembaca di Kompasiana ,juga di blog lain manapun, adalah bagian tak terpisahkan dari peristiwa komunikasi-interaksi-promosi-edukasi dan si-si yang lain dengan segenap aspeknya. Berbeda pada media arus utama, di media online predikat penulis dan pembaca dapat saling bergantian. Dalam slogan jadul dikatakan bahwa media sosial digerakan ‘untuk-oleh dan dari’ penulis serta pembacanya.
Pasti ada penulis dan pembaca yang baru mencari-cari jati diri, mencari identitas diri, mencari minat/bakat/kiblat kemana yang lebih baik/prospektif, meski mungkin baru sebatas coba-coba. Namun sangat banyak yang sosial-ekonomi sudah mapan, berkecukupan, mumpuni secara memiliki mental-pikiran-pengalaman hidup maupun karier. Yang terakhir ini sudah ‘memanusia’ alias menjadi manusia. Ini jenis yang tidak perlu diapa-apakan lagi. Blog ini sangat beruntung dapat menarik minat mereka untuk (apapun alasannya) menulis dan membaca dan mengapresianya dengan sangat baik.