Soal selera dan rasa inilah yang kemudian menjadikan seseorang seperti kesurupan makan politik. Gaya makan itu konon lantaran ada mahluk halus yang ikut makan melalui wadag yang bersangkutan. Seberapapun makanan disuguhkan akan dilahap habis. Namun mereka merasa tidak kenyang-kenyang, tidak puas-puas. Dan bayangkanlah bila menu makanan itu bernama ‘politik berazaskan agama’. Maka logika untuk memlih menu apapun yang lain bakal tak berguna. . . . . .!
“Ini nama menu apalagi yang menyerempet-nyerempet agama segala. Memang sih, agama harus diterapkan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam politik. Tapi sudah lama sekali agama hanya digunakan sebagai simbol dan atas nama.. . . . . .!” ujar seorang nyonya setengah baya berkerudung ketika membaca daftar menu pada sebuah restoran mewah di pucuk menara sebuah hotel bintang lima. Ia bersama keluarga besarnya yang berjumlah tiga puluh orang akan berpesta dan agak alergi bila disuguhi apapun bernuansa agama.
Sesaat tidak ada jawaban. Para pelayan sibuk. Lalu seseorang menemui.
“Ini restoran, Bu! Ibu mau pesan makanan atau mau memberi ceramah? Kami ini menciptakan menu melalui penelitian dan percobaan yang panjang lho. Kami juga mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Kami pun mengundang para ahli ibadah, tasawuf, termasuk para ahli demo, untuk mencicipinya. Mereka tergiur pada menu bernama ‘politik berazaskan agama’ kami. Jadi apa yang membuat ibu was-was?” ucap Bos Restoran dengan tetap tersenyum, lalu mempersilahkan para tamu untuk mengambil tempat duduk yang paling nyaman untuk menikmati pemandangan kota.*** (Bersambung)
Sekemirung, 7 November 2016/7 Safar 1438
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H