Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen l Segelas Kopi Panas, dan Persoalan Hidup

2 November 2016   10:42 Diperbarui: 2 Agustus 2021   22:59 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://belitung.tribunnews.com/

Pada kopi ada revolusi,
 juga cinta yang tak pernah mati. (Agus Noor)

Marjuki, seorang sipir penjara, duduk manis di depan pintu jeruji besi penjagaan. Di seberang lorong-lorong panjang dan ruangan-ruangan yang digembok. Malam larut, dan suasana hening tetapi mencekam. Saat-saat begitu beberapa kali terjadi peristiwa tak diharapkan: narapidana berusaha meloloskan diri. Hari itu ia berjaga bersama lima sipir lain di tempat yang berbeda. Segelas kopi panas menemaninya.

Sebuah koran lokal dibacanya dengan pikiran kusut. Banyak sekali berita di sana yang menunjukkan banyaknya persoalan di masyarakat. Sering ia berpikir jangan-jangan orang mencari jalan gampang. “Berhenti sejenak di penjara mungkin menjadi solusi terbaik menghadapi hidup yang terasa mencekik. Lihatlah betapa berjubelnya isi penjara saat ini!” gumamnya sendiri dengan getir.

***

Berita utama tentang harga tomat yang melonjak liar. Belum selesai urusan kenapa harga tomat melonjak, disusul dengan persoalan siapa pembunuh sapi Tukiran, tak lama kemudian persoalan lain menyeruak: kenapa Dul Kampilun percaya sekali bahwa daun kamboja di kuburan keramat seberang kampung dapat menjadi obat mujarab penyakit gila.

Kenaikan harga tomat, cabe, kangkung dan daging ayam itu persoalan semua orang. Bukan hanya kerumitan para ibu dalam menentukan menu harian yang makin tak terjangkau. Tapi juga persoalan para suami untuk lebih rajin kerja lembur agar penghasilan yang dibawa pulang cukup untuk sebulan.

“Kalau saja sapi itu meninggalkan pesan sebelum mati. Atau, setidaknya meninggalkan jejak yang mudah dilihat . . . .!” gumam Pak Bunawas, Kepala Kepolisian Sektor setempat, dengan pikiran was-was. Ia menyeruput kopi hitamnya dengan begitu nikmat. “Persoalan tidak menjadi serumit ini!”

“Lebih mantap lagi kalau meninggalkan pesan tertulis, atau rekaman wawancara eksklusif siapa kemungkinan pembunuhnya.. . . . .!” sindir  Bripda Karel sambil menyembunyikan senyum.

Tidak mendapatkan tanggapan, Karel meneruskan pikiran liarnya. “Nanti kalau ada orang kesurupan roh sapi, saya yakin seratus persen dialah  pembunuhnya. . . . .!”

“Bagaimana kalau yang kesurupan roh sapi justru kamu?” tanya Pak Bunawas tiba-tiba.

“Pasti bukan saya pembunuhnya, Pak. Saya vegetarian, tidak makan daging sapi. Dan saya sangat menghormati satwa apapun. Saya berani bersumpah bukan saya pembunuhnya. . . . . !” ucap Bripda Karel dengan wajah memerah. Entah setan apa yang hinggap di kepalanya, tiba-tiba saja ia  mencabut pistol revolver organik dan menarik pelatuknya. “Dor.. . . . .”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun