Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjaga Masjid (2)

14 Oktober 2016   16:05 Diperbarui: 14 Oktober 2016   16:09 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mushola al-'abror yang kehilangan jamaah

Cerita sebelumnya

Setelah sholat dhuha dan berdzikir beberapa saat, sekitar pukul delapan pagi, Pak Haji Marlan berdiri. Diikuti beberapa orang pengurus masjid Al Hidayah. Pak Dadang, Pak Romli, Aa Sutisna dan aku sendiri ikut berdiri.

Cuaca di luar agak mendung. Di halaman masjid sudah menunggu sebuah minibus warna abu-abu. Kami berlima segera memasuki  mobil itu. Aa Sutisna yang menyopiri. Disampingnya Pak Haji Marlan. Aku duduk di tengah disamping Pak Dadang, sedangkan Pak Romli sendirian duduk di bangku paling belakang.

“Ayo kita berangkat. Mudah-mudahan di perjalanan tidak hujan. Mari kita berdoa dulu, untuk keselamatan di perjalanan, mulai pergi hingga pulang kembali. . . . . .!” ucapkan Pak Haji Marlan.

Dan minibus itu meluncur ke timur. Setengah hari perjalanan ke luar kota yang cukup jauh, ke kampungku yang sunyi dan terpencil. Berbagai perasaan kangen, sedih dan gembira, serta takjub bercampur-aduk. Semua perasaan itu kutahan sekian lama, dan bahkan coba kulupakan.

Perjalanan terasa begitu lama. Sepanjang jalan masih kukenali, namun sudah banyak yang berubah.  Kamis sempat singgah pada sebuah masjid kota kecamatan, lalu makan siang sebelum melanjutkan perjalanan.

Memasuki gerbang desaku tanpa terasa air mata ini menderas. Semua sudah banyak berubah. Sawah dan ladang berganti bangunan. Dan di ujung desa tampak di mataku sebuah mushola yang sudah direnovasi.

“Itu musholanya, Pak Muhrowi. Kami yang membebaskan tanah lalu membangunnya. Mushola lama sudah dipindah ke tempat lain untuk dijadikan masjid. Kami juga membelikan sebidang tanah dengan rumah mungil di atasnya.. . . . .!” ujar Pak Haji Marlan ketika kami turun dari minibus.

Aku tak mampu berkata apa-apa atas kebaikan mereka. Hanya air mata saja yang semakin deras. Terlebih ketika muncul beberapa saudaraku dengan anak dan cucu mereka. Agaknya mereka sudah mendapatkan khabar mengenai kepulanganku.

Kami berpelukan begitu erat sampai melupakan para tamu. Aku bakal dapat menampung beberapa saudaraku yang selama ini menganggapku sebagai anak hilang. Tidak sia-sia aku mengembara jauh dan tak pernah pulang selama ini. Belum lulus sekolah tsanawiyah ketika aku memutuskan merantau. Kemiskinan mendera kaluargaku, dan sejak itu aku tidak pernah menengok kampung halaman. . . . . !

Dari bagasi minibus Aa Sutisma mengeluarkan beberapa dos dan karung besar. Aa Sutisna berbisik di telingaku bahwa bingkisan itu, dari ibu-ibu kompleks sebagai ucapan terimakasih dan tali-asih. Bingkisan itu berupa bahan makanan, pakaian, dan perabotan rumah tangga.

Kami sempat ngobrol beberapa saat di dalam mushola. Lalu sholat Ashar berjamaah, sebelum mereka pamit. Berkata-kali kuucapkan alhamdulillaah wasy-syukru lillaah.

“Kini suara ngaji, adzan, dan pengabdian bapak lainnya dapat bapak curahkan di sini. Di mushola ini. Bapak sudah banyak berjasa bagi warga komplek perumahan kami. Mengajari anak-anak dan ibu-ibu mengaji, memperingatkan waktu sholat melalui adzan dengan suara yang sangat merdu, dan terutama melayani semua keperluan masjid. Semua itu mudah-mudahan diganjar Allah dengan sebaik-baiknya ganjaran. . . . .!” ucap Pak Haji Marlan sebelum pamit.

“Aamiin. Alhamdulillah. Terima kasih atas kebaikan bapak-bapak dan warga komplek. Sampaikan permintaan maaf saya bila selama ini banyak membuat kesalahan di kompleks . . .!” ucapku sambil melambaikan tangan.

Minibus warna putih itu meluncur di jalan desa. Ada kepulan debu mengikuti lajumobil. Masih kulambai-lambaikan tanganku, sampai mobil itu hilang di tikungan dekat pohon beringin. Hari mulai sore, sebenar lagi harus kusiapkan shalat Maghrib. Namun kali ini tidak perlu terlalu tergesa-gesa. Mushola kecil yang kini kuurus memberi kesempatan padaku untuk tidak tergesa-gesa. . . . .!*** 

Bandung, 18 Februari– 14 Oktober2016

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun