Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penipu dan Para Korbannya

7 Oktober 2016   00:51 Diperbarui: 14 November 2019   23:45 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.wikiart.org

Hati-hati dengan para penipu. Ia bisa mengubah diri menjadi apa saja dan melakukan apa saja. Dan yang terbanyak menjadi orang kepercayaan. Menjadi pasangan hidup, menjadi bos, menjadi pubic figure dan selebritis, bahkan menjadi guru spiritual. Sang Guru, Yang Mulia, Nabi, dan sebutan lain disematkan. Sehingga jahanam itu dengan sangat gampang melakukan aksinya: menipu!

Itulah bunyi pengumuman yang ditulis dengan huruf besar-besar dan warna menyolok pada billboard-spanduk-baligo pada beberapa sudut kota. Pengumuman juga disuguhkan di videotron yang sesekali menayangkan gambar-gambar seronok. Dan di sekujur jalanan kota aneka tulisan pengumuman itu tersebar luas, juga di jidat orang-orang yang pernah menjadi korban penipuan.

***

Jimmy berdiri di sisi kafe dengan muka menunduk. Di jidatnya ada tanda sebuah centang hitam. Sekilas pandang saja orang sudah tahu siapa dia. Itulah kenapa kemana pun pergi wajahnya menunduk, ditekuk dan membungkuk. Dan itu berarti juga menundukkan mata, serta hati. Satu centang hitam itu menandai ia baru sekali menjadi korban penipuan dengan nilai sangat besar.

“Kenapa sikapmu berubah, Jim? Tidak bisakah kamu kembali bergembira dan agak berandalan seperti biasanya?” tanya Bob sambil memegang dagu Jimmy dan mendongakkannya.

Keduanya anak dari seorang pengusaha besar, teman akrab sekaligus rival bersaing sejak SMA.

“Jangan kasar begitu?” Jimmy menyergah spontan.

“Kenapa? Kamu tiba-tiba menjadi orang lain sekarang. Menggelikan!”

“Terserah apapun katamu. Tapi kamu belum pernah dalam posisiku. . . . .!”

Bob menggandeng lengan Jimmy lalu mengajaknya ke lorong samping kafe.  Di balik perabotan-perabotan bekas di sana Bob mendesak agar Jimmy berterus-terang apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah agak lama terdiam, Jimmy bersuara. “Aku bangkrut sekarang. Penipu itu menggunakan sulap tangan. Lalu dengan tipuan mata. Selanjutnya beralih menggunakan kemampuan mempengaruhi orang, bahkan kemudian menghardik begitu bengis. Juga dengan todongan pistol, dan terakhir. . . . . .!”

“Terakhir. . . . . .!”

Bob penasaran. Ternganga menunggu Jimmy membuka mulut. Sementara itu hari bergulir ke sore. Di luar sana para penipu sedang mempersiapkan diri dengan berbagai teknik dan trik tipuan malam hari. Sebaiknya para calon korban mengasah kejelian dan kecermatan hidung-mata-telinga maupun perasaan untuk berjaga-jaga menghadapi setiap urusan dengan orang lain agar terhindar dari malapetaka memalukan.

***

Kota Gembira -seperti namanya- semua terjadi serba gembira, gampang, tidak sulit dan tidak perlu berbelit. Semua urusan dapat diselesaikan dengan saling tipu, saling jerumuskan, bahkan saling bunuh dengan tipuan.

Sudah berpuluh tahun lalu keluar ketentuan itu. Kejahatan apapun hukumnya gantung, kecuali satu yaitu menipu. Dengan demikian kriminal atas nama selingkuh, korupsi, upeti, membunuh, merampok, berjudi dan perebutan jabatan, tidak dihukum apapun selama mampu membuktikan bahwa tindakan itu dilakukan dengan teknik dan trik penipuan. Tapi jika tidak terbukti, hukum gantung sudah menunggu.

Tidak mengherankan warga Kota Gembira dikenal sangat jenius dan penuh kehati-hatian. Para penipu berkeliaran dengan bebas dan senangnya. Sedangkan para korban dengan kerugian hingga satu milyar rupiah mendapatkan tanda centang hitam di dahi. Ketika ia mendapatkan tiga centang maka ia akan diusir dari kota untuk hidup di hutan belantara pucuk pucuk gunung. Mungkin tujuannya agar terhukum berteman akrab dengan  bekantan,  beruk, wau-wau, dan aneka jenis primata liar lainnya.

***

Tahun-tahun berganti dengan cepatnya. Begitupun kehidupan warga Kota Gembira. Jimmy sudah menjadi bos kafe ‘Kutipu Dirimu’, bersebelahan dengan apotek ‘Tipuan Manis untuk Mertua’ dibelakangnya kantin para jomblo  ‘Murah-meriah Tapi Menipu’. Tanda centang di dahinya telah dihilangkan karena berhasil mendapatkan rehabilitasi. Penyebabnya, ia tidak tertipu lagi selama lima tahun terakhir.

Menjelang tengah malam datang seorang lelaki kurus, kumal dan bau. Di dahinya ada tanda tiga centang hitam, dan itu berarti ia akan segera menjalani hukuman tak terkirakan kejamnya: bergaul dengan bangsa primata!

Di depan meja bar lelaki itu duduk di kursi tinggi, memesan sesloki wiski murah. Tak lama tambah lagi, dan tambah lagi. Cara minumnya unik, tidak menenggak cepat seperti lazimnya, tapi menyeruputnya menggunakan sedotan. Setelah itu kepalanya tampak berasap, juga mata telinga, bahkan lubang kemaluan dan dubur. Semua berasap tebal serupa kepulan dari sedotan rokok kretek para pecandu nikotin. 

Pengunjung kafe jadi heboh. Jimmy cepat menyadari keadaan yang berbeda. Ia mendekati lelaki itu untuk mengusir, dan kalau perlu membunuhnya.

“Apa yang terjadi dengan dirimu, Kawan?” Jimmy menyapa halus dan sopan.

“Apakah kamu betul-betul lupa siapa aku?” ucap lelaki kumuh itu dengan sedikit mengangkat dagu. Wajahnya kurus, berkerut kerut, pucat dan tua.

“Bob! Jadi, kamu Bob?” Jimmy terpekik tiba-tiba. Terperanjat. Terpukau. Seperti terkena hipnotis. “Hipnotis?” gumam Jimmy kemudian di telinga si kumal.

“Hipnotis, sihir, gendam atau apapun namanya. Satu kata yang sama sekali tidak kupercayai ketika terlontar dari mulutmu lima tahun lalu” ujar Bob terus menunduk dengan suara menahan tangis penuh penyesalan. “Aku selalu gagal menundukkan mata seperti saranmu, supaya tidak terkena pengaruh hipnotis, sihir, dan hal lain semacam itu. Dan hasilnya, lihatlah. . . . . .!” 

***

Seminggu lagi Bob bersama belasan orang lain akan dihutankan. Dilepas di hutan belantara seberang pulau. Tak ada pilihan kecuali menerima. Sebab bagi mereka, hukuman itu masih lebih ringan dibandingkan dengan pelaku kejahatan tanpa menggunakan tipuan sedikitpun, dan harus berakhir di tiang gantungan.

Begitulah. Semua media sudah membuat beritanya. Juga harapan dan pesan-pesan terakhir mereka. Memilukan memang. Mereka dianggap tidak cukup layak hidup di lingkungan manusia beradab.  .***

Bandung, 7 Oktober 2016 M/6 Muharam 1438 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun