Dan pada saat demikian Perempuan Fiksi itu ingin segera kembali menjadi manusia normal. Berpikir normal, bertindak normal, bertetangga, berkawan, berumah-tangga, bekerja, dan hal-hal lain yang normal-normal saja. Mencari nafkah, ngobrol, berbelanja, main game, berolahrga, dan memberi malan pada kucing dan ikan peliharaan. Ia tidak mau lagi hidup seolah menjadi bintang sinetron saat mana semua gerak , pikiran, dan dialog harus disuruh-suruh, bahkan harus dipaksa-paksa oleh sutradara brengsek yang membuatnya stres dan linglung.
Tidak! Tidak ada lagi semua yang fiktif itu. Ia akan kembali menjadi manusia fakta, dengan darah-daging dan semua peristiwa yang nyata.
Sampai kemudian seseorang datang. Ia bukan sutradara, tapi entah siapa. Ia memencet bel di tembok dekat pagar. Ketika pemilik rumah mendekat ia berteriak dari luar pagar, sekadar mengingatkan: “Minumlah segera obatmu, Kawan. Jangan pernah lupa. Sekali saja kamu lupa tidak meminumnya maka kamu harus mengulang dari awal. Obat itu sangat baik untukmu, untuk kesembuhanmu. . . .!”
Hari beranjak siang. Di layar televisi penyiar berita mengucapkan selamat tahun baru hijriah, 1 Muharam 1438 Hijriah. Perempuan Fakta itu tersenyum wajar, mengangguk-angguk, dan tangan kanannya memasukkan beberapa butir pil dan kapsul sekaligus ke dalam rongga mulutnya. Diiringi dengan tegukan besar air tawar. Selanjutnya tersenyum lebar, dan merasa bahwa suatu ketika kelak ia bakal benar-benar menjadi perempuan normal yang terbebas dari ancaman pembunuhan, terbebas dari peran sadis, terbebas dari sutradara konyol yang tidak punya kemampuan menyutradarai sama sekali. . . . . .! ***
Bandung, 2 Oktober 2016 M/1 Muharam 1438 H
Simak juga tulisan sebelumnya:
- refleksi-tahun-baru-hijriah-1-muharam-1438-hijriah
- dimas-kanjeng-antara-fakta-dan-fiksi-dan-kearifan-lama
- /menulis-buku-puisi-sebuah-petualangan-berfiksi_