Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Amien Rais, Pilgub DKI Jakarta, Risma

20 September 2016   07:58 Diperbarui: 20 September 2016   10:00 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan Amien Rais kalau tidak mampu membuat kehebohan. Bahkan pada masa tuanya lelaki yang tak lepas dari Organisasi Muhammadiyah dan PAN itu selalu eksis. Entah itu betul-betul eksistensi pencerahan atau sekadar narsis.

Sasaran tembaknya kali adalah Ahok yng menjadi petahana pada Pilgub DKI Jakarta 2017 mendatang. Mungkin sekadar tidak mau Ahok kembali terpilih, atau memang sudah punya calon lain yang dinilainya lebih pantas dan pas, maka dalam khotbah sholat Jum’at pun misi politik praktis itu dengan sangat kentara diusungnya.

Sebagai warga masyarakat biasa yang tidak berpolitik dan tidak ikut salah satu organisasi massa/politik tertentu, saya menganggap bahwa apa yang dilakukan Pak Amien Rais kurang tepat, atau kalau menggunakan istilah Wagub DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat ‘kurang arif’. Beberapa hal yang mendasarinya antara lain :

Ribut, Modal

Situasi sudah telanjur panas dan rentan permusuhan, namun hasilnya belum tentu optimal. Isu SARA yang dijadikan jualan menjadi sedemikian mengkhawairkan. Sebagai ilmuwan sosial-politik mestinya ada cara lain yang dapat ditempuh. Atau barangkali sudah kehabisan akal, tidak mendapat banyak dukungan, dan lebih celaka bila hanya semata mata gelap.

Pilgub dimenangkan oleh sosok yang mendapatkan suara lebih banyak (dengan syarat tertentu), dan suara itu didapatkan karena pilihan warga masyarakat. Pilihan itu sendiri karena berbagai pertimbangan praktis maupun ideal, pertimbangan ekonomi atau sekadar ikut-ikutan. Dari sanalah kemudian pertarungan Partai Politik pengusung para calon bertanding dan berlangsung. Sudah jamak dilakukan praktek curang, manipulatif, jual-beli suara, dan penggiringan suara karena faktor SARA dilakukan. Dan hasilnya mudah ditebak. Petahana terbukti lebih unggul, minimal punya banyak keunggulan dalam proses menjadi pemenang dalam ‘pertarungan’ itu.

Pada banyak daerah, anak-isteri-mantu-adik dan hubungan keluarga apapun dari sang petahana -yang sudah dua kali menjabat- dengan mudah menang. Maka muncullah sebuah dinasti ,seperti banyak diberitakan semisal Gubernur Banten Ratu Atut, yang kemudian lengser karena kasus korupsi. Demikian pun bukan tidak ada petahana yang tidak kalah. Petahana Danny Setiawan di Jabar, Fauzi Bowo di DKI Jakarta,  dan Bibit Waluyo di Jateng, beberapa waktu lalu dapat dijadikan contoh. Sehingga kesempatan untuk mengalahkan petahana selalu terbuka. Tinggal siapa calon yang hendak diusung (seberapa jujur dan tidak korup, agamis, menguasai ilmu pemerintahan, tegas dan berwibawa), bagaimana strategi pemenangan, apa konsep unggulan yang bakal diwujudkan, dan yang sangat penting modal apa yang dibawa yang dipastikan jauh lebih unggul daripada si petahana).

Jelek, Kalah

Jadi bukan menjelek-jelekkan sosok lain. Meski pilgub dapat disamakan dengan orang berjualan, untuk menarik minat agar orang memberikan suaranya; kegiatan itu dibatasi dengan berbagai peraturan, diantaranya tidak boleh menjelek-jelekkan sosok jualan parpol lain.

Dalam praktek berdagang pun tentu dilarang menyebut produk lain lebih buruk. Dalam iklan obat pembasmi serangga misalnya, hanya disebutkan ‘yang lebih mahal banyak, tapi yang ampuh hanya produk ini’. Nah, dalam kaitan dengan nama besar Amien Rais, sosok siapa yang hendak diusung sebenarnya? Promosikan sosok itu habis-habisan, paksa setiap pemilih warga DIKI Jakarta untuk tahu-paham dan kepincut pada sosok penantang itu, agar kemudian memilihnya.  

Tentu itu pula strategi jitu hingga petahana di Jabar, DKI Jakarta, dan Jateng pada masa lalu keok, kalah, dan gulung tikar. Kalau dulu masih main serangan fajar, mengandalkan kader, bagi-bagi duit, dan bahkan menjanjikan banyak hal sampaipun pada hal yang tidak mudah diwujudkan. Di Jabar tempo hari dijanjikan bila sosok itu menang maka Cirebon akan diperjuangkan untuk dimekarkan menjadi provinsi sendiri. Parpol-parpol yang berbasis agama bahkan berlaku tak kalah sekuler dibandingkan partai nasionalis.

Namun agaknya masa itu akan segera berlalu. Pemenang pertandingan dalam pilgub dan pilkada lainnya saat ini mestinya adalah sosok yang mumpuni, yang berakhlak dan beretikat baik, yang mumpuni menguasai ilmu pemerintahan, yang tegas dan berwibawa dan tidak mempan disogok, yang tidak silau oleh praktek KKN, dan terlebih juga tahan banting (kematangan sisi psikologis, emosional dan spiritual).

Penutup

Soal calon penantang itulah maka nama Risma -Walikota Surabaya- memiliki nilai lebih dibandingkan penantang lain. Kalau Amien Rais belum memiliki calon yang memadai untuk menghadapkannya dengan Ahok kenapa tidak menjagokan sosok doktor dari kawasan timur itu.

Keunggulan Risma tentu mudah dilihat: sikap dan tindakan layaknya Srikandi dalam pewayangan, kekuatan dan ketangguhan visi pemerintahannya terbukti sudah di Surabaya, suku-agama tidak menjadi masalah,  kejujuran dan kerja kerasnya tak diragukan lagi. Nah!

Praktek berdemokrasi di negeri ini kiranya terus-menerus memerlukan keteladanan, dan momentum pilkada harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Tidak justru membuat preseden buruk, timpang, lancung, bebal, dan jorok; atau kata apapun lainnya yang tak sedap didengar-dipandang-dirasa apalagi dicecap dan ditelan bulat-bulat. Ayolah berpikir dan bertindak positif, ayolah bersikap jantan dan elegan, ayolah. . . . . .! Lupakan nazar jalan kaki Yogya – Jakarta, tapi jangan bikin janji-janji lagi yang lain. Karena betapa mudahnya Tuhan hendak mempermalukan seseorang kalau orang itu bersikap/berkata ‘songongnya sundul langit’ mendahului Sang  Maha Penentu.

Begitu saja. Intinya, tampilkan jagomu bukan malah sibuk mencela jago orang lain. Ingatlah pepatah lama: menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Terima kasih bila sudi menyimak. Mohon maaf kurang dan salahnya. Wassalam.***

Bandung, 20 September 2016

Simak pula tulisan sebelumnya :

  1. sekeping-purnama-september
  2. cerita-rindu-pram-pada-yas
  3. teguh-dan-gatot-dua-cermin-retak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun