Namun agaknya masa itu akan segera berlalu. Pemenang pertandingan dalam pilgub dan pilkada lainnya saat ini mestinya adalah sosok yang mumpuni, yang berakhlak dan beretikat baik, yang mumpuni menguasai ilmu pemerintahan, yang tegas dan berwibawa dan tidak mempan disogok, yang tidak silau oleh praktek KKN, dan terlebih juga tahan banting (kematangan sisi psikologis, emosional dan spiritual).
Penutup
Soal calon penantang itulah maka nama Risma -Walikota Surabaya- memiliki nilai lebih dibandingkan penantang lain. Kalau Amien Rais belum memiliki calon yang memadai untuk menghadapkannya dengan Ahok kenapa tidak menjagokan sosok doktor dari kawasan timur itu.
Keunggulan Risma tentu mudah dilihat: sikap dan tindakan layaknya Srikandi dalam pewayangan, kekuatan dan ketangguhan visi pemerintahannya terbukti sudah di Surabaya, suku-agama tidak menjadi masalah, Â kejujuran dan kerja kerasnya tak diragukan lagi. Nah!
Praktek berdemokrasi di negeri ini kiranya terus-menerus memerlukan keteladanan, dan momentum pilkada harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Tidak justru membuat preseden buruk, timpang, lancung, bebal, dan jorok; atau kata apapun lainnya yang tak sedap didengar-dipandang-dirasa apalagi dicecap dan ditelan bulat-bulat. Ayolah berpikir dan bertindak positif, ayolah bersikap jantan dan elegan, ayolah. . . . . .! Lupakan nazar jalan kaki Yogya – Jakarta, tapi jangan bikin janji-janji lagi yang lain. Karena betapa mudahnya Tuhan hendak mempermalukan seseorang kalau orang itu bersikap/berkata ‘songongnya sundul langit’ mendahului Sang  Maha Penentu.
Begitu saja. Intinya, tampilkan jagomu bukan malah sibuk mencela jago orang lain. Ingatlah pepatah lama: menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Terima kasih bila sudi menyimak. Mohon maaf kurang dan salahnya. Wassalam.***
Bandung, 20 September 2016
Simak pula tulisan sebelumnya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H