Bukan Amien Rais kalau tidak mampu membuat kehebohan. Bahkan pada masa tuanya lelaki yang tak lepas dari Organisasi Muhammadiyah dan PAN itu selalu eksis. Entah itu betul-betul eksistensi pencerahan atau sekadar narsis.
Sasaran tembaknya kali adalah Ahok yng menjadi petahana pada Pilgub DKI Jakarta 2017 mendatang. Mungkin sekadar tidak mau Ahok kembali terpilih, atau memang sudah punya calon lain yang dinilainya lebih pantas dan pas, maka dalam khotbah sholat Jum’at pun misi politik praktis itu dengan sangat kentara diusungnya.
Sebagai warga masyarakat biasa yang tidak berpolitik dan tidak ikut salah satu organisasi massa/politik tertentu, saya menganggap bahwa apa yang dilakukan Pak Amien Rais kurang tepat, atau kalau menggunakan istilah Wagub DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat ‘kurang arif’. Beberapa hal yang mendasarinya antara lain :
Ribut, Modal
Situasi sudah telanjur panas dan rentan permusuhan, namun hasilnya belum tentu optimal. Isu SARA yang dijadikan jualan menjadi sedemikian mengkhawairkan. Sebagai ilmuwan sosial-politik mestinya ada cara lain yang dapat ditempuh. Atau barangkali sudah kehabisan akal, tidak mendapat banyak dukungan, dan lebih celaka bila hanya semata mata gelap.
Pilgub dimenangkan oleh sosok yang mendapatkan suara lebih banyak (dengan syarat tertentu), dan suara itu didapatkan karena pilihan warga masyarakat. Pilihan itu sendiri karena berbagai pertimbangan praktis maupun ideal, pertimbangan ekonomi atau sekadar ikut-ikutan. Dari sanalah kemudian pertarungan Partai Politik pengusung para calon bertanding dan berlangsung. Sudah jamak dilakukan praktek curang, manipulatif, jual-beli suara, dan penggiringan suara karena faktor SARA dilakukan. Dan hasilnya mudah ditebak. Petahana terbukti lebih unggul, minimal punya banyak keunggulan dalam proses menjadi pemenang dalam ‘pertarungan’ itu.
Pada banyak daerah, anak-isteri-mantu-adik dan hubungan keluarga apapun dari sang petahana -yang sudah dua kali menjabat- dengan mudah menang. Maka muncullah sebuah dinasti ,seperti banyak diberitakan semisal Gubernur Banten Ratu Atut, yang kemudian lengser karena kasus korupsi. Demikian pun bukan tidak ada petahana yang tidak kalah. Petahana Danny Setiawan di Jabar, Fauzi Bowo di DKI Jakarta, Â dan Bibit Waluyo di Jateng, beberapa waktu lalu dapat dijadikan contoh. Sehingga kesempatan untuk mengalahkan petahana selalu terbuka. Tinggal siapa calon yang hendak diusung (seberapa jujur dan tidak korup, agamis, menguasai ilmu pemerintahan, tegas dan berwibawa), bagaimana strategi pemenangan, apa konsep unggulan yang bakal diwujudkan, dan yang sangat penting modal apa yang dibawa yang dipastikan jauh lebih unggul daripada si petahana).
Jelek, Kalah
Jadi bukan menjelek-jelekkan sosok lain. Meski pilgub dapat disamakan dengan orang berjualan, untuk menarik minat agar orang memberikan suaranya; kegiatan itu dibatasi dengan berbagai peraturan, diantaranya tidak boleh menjelek-jelekkan sosok jualan parpol lain.
Dalam praktek berdagang pun tentu dilarang menyebut produk lain lebih buruk. Dalam iklan obat pembasmi serangga misalnya, hanya disebutkan ‘yang lebih mahal banyak, tapi yang ampuh hanya produk ini’. Nah, dalam kaitan dengan nama besar Amien Rais, sosok siapa yang hendak diusung sebenarnya? Promosikan sosok itu habis-habisan, paksa setiap pemilih warga DIKI Jakarta untuk tahu-paham dan kepincut pada sosok penantang itu, agar kemudian memilihnya. Â
Tentu itu pula strategi jitu hingga petahana di Jabar, DKI Jakarta, dan Jateng pada masa lalu keok, kalah, dan gulung tikar. Kalau dulu masih main serangan fajar, mengandalkan kader, bagi-bagi duit, dan bahkan menjanjikan banyak hal sampaipun pada hal yang tidak mudah diwujudkan. Di Jabar tempo hari dijanjikan bila sosok itu menang maka Cirebon akan diperjuangkan untuk dimekarkan menjadi provinsi sendiri. Parpol-parpol yang berbasis agama bahkan berlaku tak kalah sekuler dibandingkan partai nasionalis.