“Cerita rindu di dua buku. . . . ! Ahh, betapa menyenangkan. Kita dapat mengaca kembali ungkapan apapun dalam surat-surat itu!” jawab saya.
Penumpang makin padat berdesakan masuk kereta. Masih ada waktu lima menit sebelum kereta berangkat. Saya akan berusaha menyusulnya. Tapi mau cari uang dari mana? Ibu saya seorang pedagang kelontong di pasar, bapak petani. Saya anak ke tiga dari lima bersaudara.
“Kamu bisa kuliah sambil berjualan beras. . . . . . .!” ujar ibu menasehati.
“Kuliah? Untuk jadi pedagang beras kenapa harus kuliah. Bu?” bantah saya spontan.
Ibu tersenyum. “Kalau kamu hanya menjadi pedagang beras mana mau Yasnita menikah denganmu!”
Ibu tampak sekali sangat cocok dengan Yasnita. Mereka sering ngobrol seperti ibu dan anak saja. Tak jarang ibu berandai-andai.
“Rambut anakmu kelak keriting seperti rambut Pram. Hidung mancung seperti hidungmu. Pasti senyumnya manis sekali seperti senyum neneknya. . . . . .!” ujar ibu kepada Yasnita dengan tertawa-tawa.
Peluit panjang Masinis membuyarkan lamunan saya dari celoteh ibu. Saya sempatkan berpelukan dengan Yasnita, dan bergegas turun. Kereta bergerak. Gerbong demi gerbong berderak-derak menyusuri lintasan baja ke barat.
Yasnita di balik jendela melambaikan tangannya. Sekilas tampak matanya berkaca-kaca. Kami tidak tahu kapan bertemu kembali. Namun agaknya itulah pertemuan terakhir kami. Ia tak berkabar bertahun-tahun setelah itu. Jadi jangankan dua buku, beberapa lembar suratpun tidak pernah kami buat.
***
Kini September datang kembali. Emput puluh tahun kemudian. Dan saya bertemu tanpa sengaja dengan Yasnita. Bujukan teman-teman agar saya ikut reuni SMA saya penuhi. Penampilannya masih semodis dulu. “Jangan ingatkan aku pada janjiku dulu. Jangan bicara lagi soal keinginan ibumu dulu. . . . .!” bisik Yasnita dengan begitu canggung.