Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Teguh dan Gatot, Dua Cermin Retak

12 September 2016   14:20 Diperbarui: 12 September 2016   15:14 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurang afdol sebagai penulis kalau tidak mengupas soal Mario Teguh akhir-akhir ini. Begitupun hari-hari sebelumnya sangat kurang responsif kalau tidak menulis ihwal Aa Gatot. Ramai orang berpendapat, berkomentar, menganalisis, menghakimi, membela, mencaci-mencela, dan seterusnya. Kalau saja setiap tulisan itu dapat seketika berubah menjadi bunyi niscaya negeri ini bakal sangat memekakkan telinga. . . . . .hehehe.

Nah, kembali ke soal afdol dan responsif tadi, saya pun ikutan nimbrung. Terpantik tulisan analisis Mas Susy Haryawan berjudul “Mengapa Banyak yang Marah kepada Mario Teguh?” (sumber) saya pun menuliskan tanggapan di kolom komentar sebagai berikut :

 “Teguh belum tentu salah (setidaknya masih perlu pembuktian), namun pemberitaan media dan online seolah-olah mengalahkan kebejadan mental Aa Gatot yang Ketua Parfi, berpenampilan wali, memiliki padepokan dan banyak murid itu, yang jelas-jelas . . . . . . ! Teguh dan Gatot ibarat dua cermin dengan penggunaan berbeda (mestinya). Salam hangat. “

Ya, bagi saya Teguh dan Gatot ibarat dua cermin dengan penggunaan berbeda. Itu kiranya tak lebih pandangan lama bahwa apapun si dunia ini adalah cermin. Diri sendiri, anggota keluarga, tetangga, kenalan, atasan-bawahan, dan siapapun adalah cermin. Cermin dalam arti kemana kita mengaca diri, mematut-matut, membandingkan, mengambil contoh melakukan atau menjauhi sikap/sifat/perkataan/pemikirannya, dan seterusnya. dalam kontek itu saya pernah menulis “Ahok adalah Cermin Besar yang Terbuka” sampai dua kali.  Bahkan alam raya, alam gaib, kematian, alam kubur, dan ihwal ketuhanan juga cermin.

Wajar kalau kemudian kita memiliki sikap tertentu terhadap cermin itu. Seorang Reza dan Elma menyikapi si guru spiritual dengan sedemikian esktrim: meninggalkan keluarga bertahun-tahun, rela menjadi isteri siri, rela menutupi banyak kebusukan yang kemudian terkuak, dan bahkan tanpa sadar diperkenalkan pada narkoba.  Barangkali begitu pula orang-orang yang menjadikan Mario Teguh sebagai motivator dalam bersikap. Terlebih yang sudah bersusah-payah namun belum juga menemukan kata ‘sukses’ dalam hidupnya. Maksud saya, tidak lagi mampu membedakan antara sekadar cermin dan kekitaan.

Dalam sebuah cerpen saya berandai-andai bahwa cermin ternyata tidak mampu lagi teguh memerankan dirinya sendiri. Karena ia sudah dapat direkayanya menjadi sesuatu sesuai pesanan si pengguna. Dengan kata lain, pantulan bayangan yang muncul dari sang cermin tidak lagi jujur, tapi sudah rekayasa, buatan, dan menipu.

“Itulah sebabnya produk cermin aneka model tidak pernah sepi pembeli. Bahkan kaum wanita, tua-muda, menyimpan dalam tas mereka kemana pun pergi untuk terus mendapatkan kesempatan meski sempit untuk bercermin. Itu untuk memastikan apakah wajah mereka masih wajah manusia, sorot mata masih manusiawi, dan cakar-taring-tanduk tersembunyi dengan rapi tidak makin banyak dan panjang.” (cerpen)

Kembali ke soal Teguh dan Gatot, hemat saya keduanya menjadi cermin dengan penggunaan yang berbeda. Yang satu tentang kesesuaian antara ucapan dan tindakan, dan yang lain tentang upaya pencitraan (bahkan konon menggunakan bantuan alam gaib) dengan kenyataan yang sebenarnya. Membenci, membela, atau sikap apapun bagi kita (yang tidak terlibat secara langsung dalam persoalan mereka) sah-sah saja, asalkan itu tetap dalam karidor kegunaan sebuah cermin. Yaitu hikmah apa yang dapat kita petik, pelajaran apa yang memperbaiki diri kita sendiri, bagaimana supaya kita tidak tersandung pada kasus serupa, dan lain sebagainya.

Ya sudahlah (mario, bahasa Jawa Timuran), jangan kita mencontoh manusia gagal total (gatot, dua kata yang dipendekkan). Mari kita membicarakannya tidak dalam konteks ngerumpi dan ghibah yang tidak perlu.

Nah, begitu saja pandangan saya yang ‘ngarang’ ini. Bila tulisan ini dipanjangkan khawatir nanti ada yang menyangka saya sedang berlaku layaknya seorang motivator. Lebih celaka lagi kalau ada yang kepincut menjadikan saya sebagai guru spiritual. Jadi awas dan waspada. Disekeliling kita apapun-siapapun tak lebih dari cermin, dan tiap cermin berbeda penggunaannya, tiap cermin dapat saja retak . . . ! Itu! Super sekali. . . .hehe! Terima kasih bila sudi menyimak. Mohon maaf kurang dan salahnya. Selamat ber-Idul Qurban! Wassalam!

Bandung, 12 September 2016.

Sumber gambar

Simak juga tulian sebelumnya yang tak kalah ngarang:

  1. film-tiga-dara-merestorasi-nilai-historis
  2. hujan-hujatan-untuk-mas-joko
  3. berfiksilah-tanpa-bunuh-diri-sebagai-jalan-keluar-permasalahan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun