Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(LOMBAPK) Film Tiga Dara, Merestorasi Nilai Historis

11 September 2016   23:54 Diperbarui: 12 September 2016   05:56 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga peneran dalam film Tiga Dara (Sumber Gambar:powerhousemagz.com)

Nonton film pada tahun 1950 bukan hanya barang mewah tetapi juga langka. Dan apalagi yang membuat film. Tapi Usmar Ismail mewujudkannya. Sebelas tahun setelah proklamasi kemerdekaan sang sutradara legendari Indonesia itu mewujudkan dua film sukses. Pertama film bergenre drama perjuangan berjudul “Darah dan Doa”, lalu disusul dengan film musikal ‘Tiga Dara’.

Cerita film itu sendiri berkisar soal perjodohan, pertentangan orangtua dan anak, serta berbagai intrikyang didalamnya. Semuanya disampaikan dengan sedikit dialog dan diperbanyak lagu-lagu. PemerAn tiga dara: Chitra Dewi, Mieke Widjaya, Indriati Iskak menunjukkan tiga karakter berbeda. Dan justru dari sana cerita muncul, berkembang, dan memperoleh sisi-sisi dramatis, meski digarap dengan semangat menghibur dan jenaka. Filem itu mendapat penghargaan Piala Citra dalam kategori Tata Musik Terbaik pada Festival Film Indonesia 1960.

Setelah enam pulah tahun berlalu tiba-tiba film jadul itu dibuat baru: diperbaiki, dipermak, dikembalikan pada kondisi semula. Tidak sepenuhnya seperti semula. Namun dengan kerja keras 17 bulan, dengan biaya sekitar 3 milyar rupiah, garapan 4K di bawah bendera PT Render Digital Indonesia dengan Yoki Soufyan sebagai pimpinan itu tak dapat dikatakan tanpa arti.

Pada preview yang dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2016 lalu tidak kurang 600 penonton memadati empat gedung bioskop di Metropole di kawasan Megaria Jakarta. Laporan betapa semarak, bersinar, dan semangat optimistis yang ditimbulkannya sangat kental terasa.

Teknis, Dukungan
 Beberapa hal yang perlu mendapat apresiasi dari kerja keras merenovasi film lawas berjudul Tiga Dara itu, kiranya memberi gambaran tentang betapa masih ada sebagian orang dengan tenaga, pikiran, dan terlebih biaya mau bersusah-payah untuk menggali kejayaan masa lalu, khususnya dalam bidang perfilman nasional.

Secara teknis pekerjaan itu tidak gampang. Film-film lama dari satu frame ke frame berikutnya yang sudah rusak, setengah rusak dan sama sekali rusak dikembalikan lagi untuk memunculkan gambar dan suaranya. Teknologi pefilman dan terlebih digitalisasi memungkinkan pekerjaan itu dilakukan.

Hasilnya sungguh luar biasa. Tontonan lama dengan rasa baru dan canggih tersuguh kembali. Dan kiranya penonton dari berbagai generasi dapat disatukan dalam semangat mengingat, menghargai dan melestarikan capaian masa lalu. Itu tentu langkah awal dan pertama, dan menjadikan langkah berikut lebih mudah, lebih didukung, dimotivasi, dan terutama juga diapreasiasi oleh Pemerintah dan pihak-pihak terkait, swata, dan terlebih juga masyarakat luas.

Historis, Nasionalisme 
 Usmar Ismail adalah satu satu dari beberapa pencetak sejarah dalam dunia perfilman di tanah air. Pada masanya film bukan sekadar hiburan dan tontonan mengisi waktu luang. Ia juga berarti menumbuhkan semangat berbangsa dan bernegara, melahirkan nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa baru, diengah bangsa-bangsa lain yang baru merdeka dan banyak diantaranya yang masih terjajah.

Perjuangan lahir-batin mengusir penjajah, dan mengisi kemerdekaan, tentu bukan hal yang tidak penting. Namun ada hal lain yang kadang dilupakan, yaitu mencatatnya dalam bingkai kebudayaan, kesenian, sekaligus catatan kesejarahan. Nilai historis film-film pada awal tahun kemerdekaan, termasuk film Tiga Dara, menjadi luar biasa penting.

Dan nama 4K yang berinisiatif mengembalikan film Tiga Dara menjadi tontonan yang melampaui zamannya tentu menjadi catatan historis tersendiri.

Apresiasi, Generasi
Menonton film pada saat ini menjadi hal yang tidak istimewa. Layar televisi, peredaran video, serta tontonan melalui internet menjadikan karya seni itu  hal biasa saja. Bahkan lambat-laun terkesan menjadi sebuah kebiasaan yang makin dijauhi.

Dengan kondisi itu maka sekali lagi upaya restorasi film Tiga Dara patut diapresiasi dan ditindak-lanjuti. Tujuannya agar film dapat kembali bersinergis dengan berbagai bentuk kesenian lain dalam mengembangkan dan membangun rasa bernegara, berbangsa, dan bernasionalisme dengan cara dan teknis kekinian.

Cara lain untuk mengapresiasi kerja awal itu kiranya dapat mengembalikan jati diri film dengan lebih baik. Ini pertama-tama perlu dilakukan agar film-film, barat terlebih film nasional, untuk tidak cepat-cepat ditayangkan di layar televisi. Penayangan film itu di layar tv harus melalui tayang di ruang publik terbuka lebih dahulu. Dulu ada istilah pemutaran film ‘extra show’ pada siang hari untuk para pelajar mahasiswa maupun umum, dengan harga tiket murah. Setelah itu diputar di tempat terbuka, dulu dikenal sebagai layar misbar (gerimis bubar).

Cara itu pertama membangkitkan kembali minat menonton film. Dan kedua, yang tak kalah penting, mengurangi dominasi pentas  dan konser musik yang cenderung mengabaikan sisi edukasi dan pengembangan seni/budaya. Besamaan dengan itu pemutaran film Tiga Dara diharapkan dapat mendukung upaya peningkatan sarana-prasarana perbioskopan nasional. Itu sebagai pembelajaran, terlebih juga untuk mendukung dan menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme yang makin luntur dan memudar dari generasi ke generasi.

Penutup
 Sebagai catatan penutup. Betapapun kegigihan dan kerja keras luar biasa telah dilakukan, tak dapatlah dikatakan itu hal kecil bila kemudian diikuti dengan hal lain dengan dukungan dan apreasi selayaknya. Pernyataan bahwa restorasi itu mahal, tak berlebihan. Karena itu kini saatnya bangsa Indonesia memiliki fasilitas penyimpanan arsip film yang baik dan sesuai standar, harus mendapatkan perhatian semestinya.

Sebulan yang lalu, tepatnya tanggal 11 Agustus 2016, film Tiga Dara hasil restorasi mulai diputar serentak untuk umum di seluruh  Indonesia. Antusiasme penonton tak diragunkan. Dan pertanyaannya kemudian, apalagi berikutnya, apa dampaknya, sudah adakah tindak-lanjut yang lebih mendasar dilakukan? Siapapun kita, terlebih insan perfilman, para pengambil keputusan, dan para pemodal, serta masyarakat pecinta film nasional dapat berperan besar dalam hal ini.  

Banyak harapan dari kerja keras dan kerja cerdas untuk restorasi film itu, Dan kiranya catatan kecil ini bukanlah sebuah kesia-siaan!
Bandung, 11 September 2016

 Sumber gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun