Tentu saja penampilan kami sangat kontras. Bang Yusmardi dengan pakaian overall warna biru gelap. Sedangkan saya berpakaian sportif seperti mau berolah raga. Tak lupa dengan dandanan yang maksimal pula. Sebulan lalu Pak Ustad Ramli menekankan pentingnya setiap isteri tampil cantik dan wangi disegala cuaca agar suami betah ditemani. Pasti karenanya biaya make-up menjadi tidak murah. Tiap minggu alat-alat kecantikan itu harus beli baru. Agak boros memang, tapi itulah resiko mempertahankan keutuhan rumah-tangga.
“Maaf, saya disertai isteri yang merangkap kasir, Bu Olmar. Spesialisasi saya memang hanya pada urusan bengkel, soal hitung-hitungan agak payah, kebetulan isteri mau membantu. . . . . .!” ujar Bang Yusmardi terasa betul menyembunyikan sesuatu, dan kalau dicermati pastilah itu sebuah sindiran. Tapi saya cuek saja kok. Saya berpegang teguh pada prinsip dasar. Celah sekecil apapun yang menjadi penyebab suami selingkuh harus ditutup rapat. . . . .
Bila ada acara kumpulan sesama anggota peguyuban maka saya terpaksa membiarkan suami pergi sendiri memenuhi panggilan membengkel. Saya lebih suka bertemu teman-teman sambil makan-minum di restoran mentereng. Sesekali juga pergi ke obyek wisata di seputar kota. Lembang, wisata air panas Ciater, atau obyek wisata Ciwidey dan Kebun Teh Pangalengan. Itu lokasi favorit yang secara bergantian kami kunjungi. Yang penting saling ketemu, pasti ramai dan menyenangkan. Terlebih jika ada beberapa orang suami yang bersedia mengantar para isteri. Mereka pasti tidak sesibuk Bang Yusmardi. Suasna tambah seru.
Soal biaya perkumpulan memang ditanggung bersama. Namun lebih sering saya yang menalangi beberapa teman yang kebetulan sedang kepepet uang. Saya tidak berkeberatan karena uang saya banyak. Bang Yusmardi pasti setuju saja demi kebahagiaan isteri sebagian jerih payah kerja kerasnya di belanjakan.
***
Dan kini Hasni membuat sebuah mahkamah persidangan. Bang Yusmadi sebagai pelapor. Tiga anak sebagai saksi. Hasni sendiri bertindak sebagai jaksa, hakim, dan pengacara sekaligus. Hanya bedanya pengacara dibayar agar meringankan hukuman untuk klien. Yang ini sebaliknya, ia memberatkan klien. Semua peran itu kompak untuk menyudutkan dan menyalahkan tertuduh. Dan sayalah si tertuduh itu.
“Isteri takut suami selingkuh itu benar. Ketat mengatur keuangan itu benar. Isteri selalu tampil cantik dan wangi itu benar. Mencari banyak teman dan bergaul itu benar. Mencari kebahagiaan itu benar. Sangat benar, dan pasti tidak ada orang yang menolak kebenaran itu. . . . . ..!” Hasni memberi tekanan dengan mengubah keras-lembut nada bicaranya.
Bang Yusmardi dan anak saling pandang. Namun tidak berkomentar apapun, saya juga memilih diam dan menunggu.
“Tapi ternyata hal yang benar, dan mungkin sulit pula ditolak kebenarannya itu dapat pula menjadi salah. Kenapa begitu? Coba kita berpikir jernih?” kembali Hasni bicara sendiri sambil sesekali memperhatikan ke arah satu per satu wajah anggota keluarga di situ. Memastikan tidak ada yang punya pendapat yang berbeda.
Si sulung Hartadi, lalu anak kembar Hastuti dan Harliman, serta Bang Yusmardi hanya mengangguk-angguk. Wajah tenang, tidak ada ketegangan sedikit pun. Satu-satunya yang bermuka kecut dan cemberut tentulah saya sendiri. Saya tidak dapat menyembunyikan rasa jengkel, marah, malu, dan kecewa menjadi satu. Pangkal soalnya tentu karena tidak ada sesuatu pun pendapat Hasni yang dapat saya mentahkan.
“Saya ulang, yang benar dapat menjadi salah. Salah yang paling besar tak lain karena Bang Yusmardi, suami Bu Hastari dan bapak dari empat orang anak, yang bekerja keras sejak muda, sudah uzur. Tiga puluh tahun lebih menikah tidak ada cerita selingkuh. Nah, sekarang. . . . . . , ada yang coba-coba tidak mempercayainya. Khawatir kalau Bang Yusmardi selingkuh. Lalu melakukan aneka tindakan yang tidak saja tidak tepat tapi juga menggelikan. . . . . .!”