Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Syahwat Politik, Pola Pikir Lama, dan Risma

5 Agustus 2016   11:13 Diperbarui: 5 Agustus 2016   15:08 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
risma - demi parpol menuju jakarta

Demi melawan Ahok maka apapun dilakukan-dipertaruhkan-diperjudikan-digampangkan dan seterusnya.  Jungkir balik politik, akrobat, hingga mungkin ‘bunuh diri’ politik. Entah istilah mana yang paling tepat. Tentu waktu pula kelak yang akan memberi kejelasan dan penilaian bagaimana persoalan hendak didudukkan.

Beberapa bulan terakhir nama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok terus disandingkan dengan banyak nama lain, dipantas-pantaskan untuk mendapatkan lawan tanding sepadan, sebagai ‘sparing partner’, digunjing ini dan itu. Bahkan digoreng dan digiring pada opini tertentu, pastilah lengkap dengan kompor dan obat biusnya kalau perlu. Hingga kemudian –menurut beberapa susrvei- diperoleh kesimpulan sementara memang belum ada yang sebanding. Seperti bunyi sebuah iklan.  Lawan tanding harus sebanding. 

Konon hitung-hitungan di atas kertas pun sudah sangat jelas siapa unggul siapa kandas. Maka pilihan terakhir tinggal satu nama: Tri Rismaharini, alias Risma saja.

Syahwat Politik

Siapa Risma, dan mengapa dia? Itulah pertanyaannya, dan tiap hari ada saja simpang-siur jawaban atas pertanyaan itu. Beberapa orang menyayangkan, dengan berbagai argumentasi agar Risma tak perlu ke Jakarta. Tapi banyak orang lain, dan  terutama para kader dan pengurus parpol tertentu, menghendaki sebaliknya.

Mungkin ada yang menilai bahwa memajukan Risma ke Jakarta tak lain sebuah pertunjukkan gawatnya upaya menyalurkan syahwat politik. Dalam politik kalau masih mungkin menang mengapa harus mengalah? Yang penting ngotot, berjuang, hingga ke urusan yang paling muskhil:  nekat, sampai bunuh diri bila perlu. Politik adalah segalanya, dan berpolitik tidak boleh setengah-setengah dalam bersikap. Harus total, dan tuntas, dengan mempertaruhkan apa saja.

Ibarat dunia perjodohan, maka sosok Risma saat ini dapatlah disamakan dengan seorang gadis kembang desa. Disanjung, dipuja, dielu-elukan begitu rupa. Harum, molek dan bercahaya. Banyak perjaka datang untuk melamar. Bahkan banyak orangtua yang ngebet ingin menjodohkan gadis itu dengan anak lelakinya. Tapi rupanya Walikota Surabaya dengan banyak prestasi itu terlalu sibuk mematut-matut diri, mengukur diri, menentukan ukuran ideal sebagai seorang calon isteri yang baik, dan terutama tetap rasional untuk tidak tergoda pada bujukan apapun yang belum tentu dapat diwujudkan.

Pola Pikir Lama

Perempuan kelahiran Kediri 55 tahun lalu itu bukan tidak punya modal besar untuk menaklukan Jakarta. Siapapun kita maklum hal itu. Namun Jakarta bukan kota manapun di Indonesia. Ia miniatur Indonesia untuk semua kerepotannya, kesulitan, kekacauan, kekejaman, dan bahkan ambisiusnya. Perlu mental lebih dari baja, kesabaran luar biasa, ketegasan dan aketegaan yng tak terkira-kira, serta teruama segudang bekal kecerdasan dan muslihat untuk mengakali bertumpuknya muslihat lain yang sudah mengakar nebdasari kehidupanan yang kapitalistik-hedonistik dan licik. 

Dan bila berbagai alasan itu menjadikannya harus tetap di Surabaya, maka sia-sialah harap dan impian melambung para kader dan pengurus parpol dan masyarakat luas untuk mengusungnya menjadi DKI Jakarta 1.

Yang menjadi persoalan tentu, pola pikir dan argumenasi apa yang mendasari keterdesakan parpol itu untuk memaksa Risma? Apakah menjadi gubernur dapat dipelajari dalam waktu seketika, atau setidaknya lambat-laun, dan tinggal duduk manis? Apakah jadi gubenur tinggal nunggu setoran dari proyek? Apakah menjadi kepala daerah berarti sumber dana bagi partai? Dan banyak lagi pertanyaan lain yang menyasar pada gugatan atas pola pikir lama: korupsi, kolusi dan nepotisme yang hendak dilestarikan hingga tujuh turunan.

Dan Risma ketika menjawab pertanyan para wartawan menyatakan bersikukuh tidak akan berangkat ke Jakarta. Namun yang mengherankan, mengapa ia diberitakan pamit kepada warga kota Surabaya? Pertanda apakah ini? Apakah itu berarti segala argumentasi dan permohonannya untuk tetap di Surabaya mentok pada kedigdayaan parpol? Entah.

Predikat, Pilkada                                  

Sudah puluhan tahun -  orang-orang parpol –pun yang telah mendapatkan predikat ‘yang mulia’  sebagai anggota dewan masih latah bersepak terjang dan memperlihatkan wajah asli melalui bancakan korupsi, percaloan, makelar, dan berbagai praktek curang-hitam-culas untuk memperkaya diri sendiri maupun untuk partainya. Tidak sulit membaca dan menandai kebusukan yang terus berulang, berganti, berpura sok bersih, berpura sok nasionalis dan agamis itu. Media rajin memberi penilaian dan penafsiran atas gagalnya orang partai untuk segera beranjak menjadi ‘benar’.

Pasti ada orang partai yang jujur, yang idealis, yang tidak korupsi. Namun dengan berbagai perilaku dan perangai yang semestinya itu setidaknya sampai saat ini belum atau bahkan tidak ada yang bersedia menampilkan diri sebagai yang paling spesial. Jadi intinya, ketidakpercayaan kepada moralitas orang-orang parpol -yang diakui atau tidak- memang memprihatinkan itu (tokoh-tokoh agama pun ketika masuk parpol mudah terjerembab pada perilaku koruptif) menjadi penyebabnya.

Pendapat dan tanggapan miring bin miris itu mestinya ke depan tidak ada lagi. Paradigma baru untuk menjadi parpol bersih dari semua bentuk kecurangan harus betul-betul diperjuangkan, dipegang teguh sebagai pertaruhan harga diri. Terlebih terkait dengan tuntutan agar Risma bersiap lahir-bathin untuk bertarung di arena sangat ganas-panas-buas bernama Pilkada Gubernur DKI Jakarta pada 2017 nanti.

Penutup

Demikian ulasan dangkal dan sekenanya kenapa Risma tampak gamang untuk bilang tegas ‘ya’, tetapi terlihat sangat takut untuk bilang ‘tidak’. Risma tetaplah seorang petugas partai, namun celakanya belum punya cukup kenekatan untuk mengelak dari berbagai ambisi/strategi/intrik yang mungkin dirasakannya bakal menjerumuskan dan memperangkap itu.

Syahwat politik yang dibumbui pola pikir lama mengharuskan Risma yang murah senyum itu bertarung di Jakarta. Tidak ada kata ‘tidak’. Apapun pendapat dan analisis orang: jungkir balik politik, akrobat, atau bahkan ‘bunuh diri’ politik, diabaikan saja. . . . .! Begitupun semoga Risma tetap waras –sehat jasmani dan rohani- dalam menjalani takdirnya, dan sukses terus dimana pun tugas pengabdian menempatkannya!***

Bandung, 5 Agustus, 2016

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun