Dan Risma ketika menjawab pertanyan para wartawan menyatakan bersikukuh tidak akan berangkat ke Jakarta. Namun yang mengherankan, mengapa ia diberitakan pamit kepada warga kota Surabaya? Pertanda apakah ini? Apakah itu berarti segala argumentasi dan permohonannya untuk tetap di Surabaya mentok pada kedigdayaan parpol? Entah.
Predikat, Pilkada                 Â
Sudah puluhan tahun -  orang-orang parpol –pun yang telah mendapatkan predikat ‘yang mulia’  sebagai anggota dewan masih latah bersepak terjang dan memperlihatkan wajah asli melalui bancakan korupsi, percaloan, makelar, dan berbagai praktek curang-hitam-culas untuk memperkaya diri sendiri maupun untuk partainya. Tidak sulit membaca dan menandai kebusukan yang terus berulang, berganti, berpura sok bersih, berpura sok nasionalis dan agamis itu. Media rajin memberi penilaian dan penafsiran atas gagalnya orang partai untuk segera beranjak menjadi ‘benar’.
Pasti ada orang partai yang jujur, yang idealis, yang tidak korupsi. Namun dengan berbagai perilaku dan perangai yang semestinya itu setidaknya sampai saat ini belum atau bahkan tidak ada yang bersedia menampilkan diri sebagai yang paling spesial. Jadi intinya, ketidakpercayaan kepada moralitas orang-orang parpol -yang diakui atau tidak- memang memprihatinkan itu (tokoh-tokoh agama pun ketika masuk parpol mudah terjerembab pada perilaku koruptif) menjadi penyebabnya.
Pendapat dan tanggapan miring bin miris itu mestinya ke depan tidak ada lagi. Paradigma baru untuk menjadi parpol bersih dari semua bentuk kecurangan harus betul-betul diperjuangkan, dipegang teguh sebagai pertaruhan harga diri. Terlebih terkait dengan tuntutan agar Risma bersiap lahir-bathin untuk bertarung di arena sangat ganas-panas-buas bernama Pilkada Gubernur DKI Jakarta pada 2017 nanti.
Penutup
Demikian ulasan dangkal dan sekenanya kenapa Risma tampak gamang untuk bilang tegas ‘ya’, tetapi terlihat sangat takut untuk bilang ‘tidak’. Risma tetaplah seorang petugas partai, namun celakanya belum punya cukup kenekatan untuk mengelak dari berbagai ambisi/strategi/intrik yang mungkin dirasakannya bakal menjerumuskan dan memperangkap itu.
Syahwat politik yang dibumbui pola pikir lama mengharuskan Risma yang murah senyum itu bertarung di Jakarta. Tidak ada kata ‘tidak’. Apapun pendapat dan analisis orang: jungkir balik politik, akrobat, atau bahkan ‘bunuh diri’ politik, diabaikan saja. . . . .! Begitupun semoga Risma tetap waras –sehat jasmani dan rohani- dalam menjalani takdirnya, dan sukses terus dimana pun tugas pengabdian menempatkannya!***
Bandung, 5 Agustus, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H