Bab X – Satu (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)
Menunggu lama menjadi hal sangat biasa bagi Arjo. Usianya seolah habis untuk menunggu. Terlebih menunggu nasib baik. Sebab banyak jenis pekerjaan telah ditempuhnya. Namun ttap saja ia harus sabar menunggu. Dan kali ini yang ditunggunya tidak ada hubungannya dengan nasib baik atau buruk.
Selama melangkah ke sebelah jalan Mangku Bagja tiba-tiba ia punya niat untuk berterus terang siapa dirinya pada Wasi. Itu berarti juga berterus terang tentang rumah tangga dengan tiga isteri yang menghasilkan empat anak. Terutama juga berterus terang soal uang sepuluh juta pemberian Olleka, sebagai uang muka perjanjian kerja sama untuk sekedar memberi bukti kuat bahwa Wasi telah berselingkuh dengan Arjo yang menjadi penyebab pereraian mereka. Sebab dengan itu semua bantuan Haji Lolong kepada Ibram tidak mungkin ditarik lagi.
Arjo menerawang sedemikian sehingga ketika sedan hitam mulus itu sudah berhenti tepat di depan hidungnya, ia tiak segera menyadari siapa yang datang. Sampai kemudian Wasi membuka kaca jendela depan dan tertawa tergelak-gelak.
“Hei, tua bangka. . . . . apa saja yang kau lamunkan?” teriak Wasi dengan nada bercanda.
“Kamu. . . . .!” jawab Arjo spontan.
Arjo mengalihkan pandangan ke dalam mobil. Dan seketika ekspresi wajahnya terkejut malu. Ia menutupinya dengan segera beranjak menuju mobil itu. Tersenyum macam, dan bergumam sendiri tak jelas ngomong apa. Segera mobil melaju setelah Arjo duduk manis di samping perempuan cantik yang sangat dikaguminya itu.
“Mungkin isteri isteri atau siapa, Bang? Atau ingat anak-anak?” tanya Wasi seperti menginterogasi.
“Siapa saja, selintas-selintas. Pikiran tua yang kadang begitu galau menghadirkan banyak potongan peristiwa silam yang sampai kini pun tak mudah dipahami kenapa harus begitu. Ada tiga isteri pernah singgah dalam hidupku. Dua selintas dan waktu pendek, karena yang pertama meninggal. Sedang yang kedua digondol orang. Baru yang ketika berlangsung agak lama hingga menghasilkan empat orang anak. . .. .!” Arjo menjelaskan.
“Kenapa berpisah?”
“Ya, harus berpisah, kukira bahkan sebelum perkawinan itu sendiri terlaksana. . . .”