Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua

21 Juni 2016   02:25 Diperbarui: 21 Juni 2016   02:32 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wordtoflesh.com

Bab IX – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

Selesai sholat subuh berjamaah di masjid Al Falah,  Arjo menyempatkan diri membaca beberapa ayat Al Qur’an. Lalu membaca doa keselamatan: “Allaahummaa innaa nas-aluka salaamatan fiddiin wa ‘aafiyatan fil jasadl. . . . . . . . . . .! (Ya, Allah. Kami memohon keselamatan agama, dan kesejahteraan badan. . . . . . )!” Arjo berdiam diri di masjid sampai sekitar pukul enam. Banyak orang lain masih tinggal dengan berbagai aktivitas dzikir, ‘itikaf, dan tadarusan, seraya memakmurkan masjid.

Udara pagi sejuk setelah semalaman hujan mengguyur. Arjo melangkah lebar-lebar menyusuri gang demi gang untuk sampai ke rumah kontraknya. Beberapa kali berpapasan dengan orang-orang yang dikenalnya hendak pergi ke pasar, juga beberapa orang yang baru pulang kerja shift malam. Namun pagi itu Arjo tidak ingin ngobrol dengan siapapun. Ada hal yang sangat penting yang pagi ini harus dilihatnya.

Saat bangun tidur tadi ia terima pesan lewat ponselnya. Dari Siwi, wartawati di konferensi pers di Mapolres. Agaknya nomornya dimasukkan kedalam jaringan wartawan Polres Kota Barat. Isinya singkat. Pemberitahuan: pagi ini dua geng bakal terlibat tawuran di seputar Pasar Kebon Klengkeng. Arjo sudah bisa menggambarkan dua kelompok yang akan berhadapan itu. Kelompok Cinta Damai dengan organisasi Seberang Lautan. Keduanya sudah lama saling mengambil keuntungan, saling menyerang, saling melukai. Dan bahkan dulu pernah ada yang terbunuh ketika dua kelompok itu tawuran. Dendam tak berkesudahan. Pihak kepolisian sudah mengetahui rencana itu. Wartawan mendapatkan bocorannya.

Sesampai di rumah kontrakan Arjo menghubungi balik pada Siwi. Ia ingin menanyakan kepastian informasi itu.

“Halo, mbak Siwi. Ini Arjo, kita ketemu di konferensi pers di Mapolres Kota Barat. Ingat ya?” ucap Arjo memulai pembiaraan.

“Ya ya, Bang, saya ingat. Sudah terima informasinya ya, Bang?” sahut Siwi membalas.

“Oke. Saya datang. Mungkin ada yang bisa saya lakukan untuk menghentikan, atau mendamaikan pertikaian itu jika mungkin. . . . .!” ujar Arjo kemudian menutup pembicaraan.

Setelah mengantongi ponselnya, Arjo merasa bingung mengenai kepentingannya apa ia harus berada di lokasi pertikaian dua geng. Namanya tawuran pasti terjadi perkelahian jalanan secara brutal. Jika kurang beruntung salah-salah justru menjadi korban.  Arjo berpikir keras. Ia menduga-duga siapa tahu Wasi juga berada di sana. Ia pasti mengenali pimpinan kelompok Cinta Damai yang selama ini sangat dekat dengan papinya.

***

Di sebuah rumah yang besar dan mewah bernuansa Tionghwa sebuah keluarga juga sudah bersiap memulai kegiatan. Pagi-pagi Wasi sudah bersiap untuk menemui Arjo. Dua orang anaknya sudah berangkat ke sekolah dengan diantar sopir. Sejak papinya meninggal Wasi menemani maminya di rumah itu. Rumahnya sendiri di komplek perumahan di sudut kota yang lain dibiarkannya kosong.

Ketika pamit hendak berangkat maminya melarang ia pergi ke manapun. Wanita berdarah Sumatra itu mengingatkan bahwa hari itu akan ada rapat keluarga. Yang dibahas soal pengelolaan beberapa perusahaan peninggalan papi.

“Kita perlu rapat resmi. Lalu hasil kesepakatannya dibawa ke notaris. Ini agar semuanya jelas, ada kesepakatan, dan tidak timbul masalah di kemudian hari. . . .  .!” ujar Mami yang sepagi itu juga sudah berdandan rapi.

“Soal perusahaan keluarga bisa kakak Wiyasa saja yang mengurusi. Apapun keputusannya Wasi setuju-setuju saja. ‘Kan Wasi sendiri sudah punya bisnis yang cukup maju!”

“Ya, persetujuanmu itu tetap saja harus dirapatkan. Dibuat resmi dan tercatat. Jadi semua tahu hak dan kewajiban masing-masing. Kakakmu sendiri ‘kan juga punya bisnis yang makin berkembang. Mami takut ia menolak untuk meneruskan usaha papimu yang memerlukan banyak tenaga kerja itu. Sementara kalau mami yang harus meneruskan, mami merasa tidak sanggup. . . . . .!” ucap mami Wasi menjelaskan.

Wasi merasa tidak perlu memberitahu Arjo bahwa di rumah maminya akan diadakan rapat keluarga yang harus diikutinya. Ia berharap rapat berlangsung cepat sehingga ia bisa cepat pergi ke lokasi tawuran akan terjadi.

***

Namanya memang Pasar Kebon Klengkeng. Seperti nama-nama lain yang dimulai dari kebon. Dulu –mungkin seabad lewat atau lebih lama lagi- di situ menjadi sentra perkebunan klengkeng. Buah bulat besar kecoklatan yang berasa manis dengan biji hitam itu menjadi primadona. Maka dikemudian hari daerah itu disebut sebagai Kebon Klengkeng. Ada lapangan sepakbola, masjid,  perumahan penduduk, sarana berjudi dan prostitusi, dan tentu saja pasar.

Pasarnya berkembang sedemikian rupa sehingga dipenuhi pedagang kelontong dan elektronik. Pedagang besar di seluruh pelosok tanah air mengambil barang dari sana. Seiring dengan perkembangan perdagangan maka bekembang pula premanisme dengan berbagai jenis kejahatan yang melatar-belakanginya.

Hingga muncul kemudian nama Haji Lolong. Seorang warga keturunan yang mampu menjembatani berbagai kepentingan. Namun lebih sering membela kepentingan pedagang dari tindakan premanisme. Tak jarang bahkan lelaki itu melawan aparat penegak hukum, petugas pajak, dan kebijakan pemerintah yang merugikan pedagang. Perkelahian, tawuran, pembunuhan, dan tindak kriminal lain terjadi hampir seminggu sekali. Media banyak mendapatkan berita dari kejadian-kejadian di pasar ini. Sementara itu kelompok-kelompok preman datang dan pergi. Yang masih bertahan tinggal Haji Lolong yang dikenal memiliki nyawa rangkap, dan kemudian mendirikan organisasi pemuda Cinta Damai. Lelaki itu mempercayakan kepemimpinannya pada Timo Chow yang cerdas dan jago kungfu. Sementara musuh besarnya tak lain adalah Kelompok Seberang Lautan yang dipimpin Salim Buncis seorang disersi angkatan bersenjata.

Dua sosok itu yang memimpin di depan dalam persiapan tawuran di sisi kanan pasar. Kedua kelompok yang datang masing-masing dengan puluhan orang anggota, telah bersenjata siap berperang. Aneka senjata tumpul, tajam, bergerigi hingga ketapel dan busur dengan belasan anak panahnya telah dipegang oleh tiap anggota geng. Tawuran mengerikan bakal segera meletus.

Tentu saja toko-toko tutup. Pembeli dan pelayan pasar minggir. Satu-satunya yang datang dengan sikpa gagah berani, dan langsung berada di tengah-tengah dua pihak yang hendak bertikai itu tak lain ada sosok Raharjo Budiman alias Arjo Kemplu yang menjulang.  Di tangannya ada megaphone dalam posisi on. Lalu suaranya lantang meneriakkan ajakan perdamaian.

“Saudara-saudara dari kelompok cinta damai maupun dari kelommpok sebeang lautan. Hari ini menjadi hari yang baik untuk mengakhiri permusuhan. Perang kalian bukan di pasar ini karena penegakkan hukum sudah dijalankan dengan baik. Tidak ada lagi premanisme, tidak ada lagi dunia hitam. Bahkan haji Lolong pada saat-saat terakhir hidupnya telah berubah drastis. Dari seorang yang sangat dan dikenal bernyawa rangkap, menjadi pribadi yang lemah lembut. Banyak rencananya yang sangat baik yang akan mengubah citra dirinya. Namun rupanya musibah lebih dahulu menghadangnya. Tidak ada diantara dua kelompok kalian yang bersalah dalam kasus itu. Polisi sudah mengendus ada pelaku yang sengaja membakar restoran. . . . ., dan. . . . . .!” Arjo tidak mampu melanjutkan bicaranya.

Dua kelompok pemuda yang saing berhadapan itu telah memberi aba-aba. Dan saling serang terjadi begitu cepat. Aneka senjata tajam berseliweran. Batu, anak panah, dan bom molotov berhamburan. Arjo terduduk tak berdaya. Sebuah anak panah menebus dadanya. Darah meleleh deras. Matanya melotot. Lalu terjungkal di tengah jalan itu. Tawuran makin ramai. Hingga muncul barisan kepolisian dengan tembakan gas air mata. Juga semprotan air dari kendaraan water canon.

Di belakangnya para wartawan foto, juru kamera televisi dan jurnalis tulis merekam dengan peralatan apa saja situasi dan kejadian di depan mata mereka. Bersamaan dengan itu kebakaran besar terjadi di lokasi tawuran dan di dalam pasar berlantai tiga itu.

Arjo tergagap dari lelap sesaat tadi. Ia duduk termangu di bangku panjang teras lantai dua sebuah toko elektronik. Menunggu kapan tawuran akan berlangsung. Namun yang ditunggu tak juga muncul. Ngantuk, capek, kesal menunggu, dan rasa haus menjadikannya terlelap. Tidak ada tawuran, tidak ada perang. Dalam sejarahnya tawuran memang tidak pernah terjadi pagi hari dan apalagi direncanakan sedemikian rupa. Arjo terkecoh. Agaknya Siwi mengecohnya dengan telak!

Sementara itu di rumah mami Wasi terlihat Timo Chow dan Salim Buncis ikut rapat keluarga. Keduanya sesuai surat wasiat Haji Lolong akan diberi kedudukan dalam perusahaan yang ditinggalkan mntan preman itu. dua kelompok organisasi harus dibubarkan, sedangkan para anggotanya akan diberi bantuan modal untuk berwiraswasta. Hadir pula dalam rapat itu Pak Kapolres Kota Barat. Tidak mudah meyakinkan Timo dan Salim bahwa Haji Lolong sudah berubah sebelum meninggalnya. Masih ada ketegangan diantara mereka. Namun rapat berlangsung cepat, simpel, dan damai.***

Bandung, 21 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun