Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua

21 Juni 2016   02:25 Diperbarui: 21 Juni 2016   02:32 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saudara-saudara dari kelompok cinta damai maupun dari kelommpok sebeang lautan. Hari ini menjadi hari yang baik untuk mengakhiri permusuhan. Perang kalian bukan di pasar ini karena penegakkan hukum sudah dijalankan dengan baik. Tidak ada lagi premanisme, tidak ada lagi dunia hitam. Bahkan haji Lolong pada saat-saat terakhir hidupnya telah berubah drastis. Dari seorang yang sangat dan dikenal bernyawa rangkap, menjadi pribadi yang lemah lembut. Banyak rencananya yang sangat baik yang akan mengubah citra dirinya. Namun rupanya musibah lebih dahulu menghadangnya. Tidak ada diantara dua kelompok kalian yang bersalah dalam kasus itu. Polisi sudah mengendus ada pelaku yang sengaja membakar restoran. . . . ., dan. . . . . .!” Arjo tidak mampu melanjutkan bicaranya.

Dua kelompok pemuda yang saing berhadapan itu telah memberi aba-aba. Dan saling serang terjadi begitu cepat. Aneka senjata tajam berseliweran. Batu, anak panah, dan bom molotov berhamburan. Arjo terduduk tak berdaya. Sebuah anak panah menebus dadanya. Darah meleleh deras. Matanya melotot. Lalu terjungkal di tengah jalan itu. Tawuran makin ramai. Hingga muncul barisan kepolisian dengan tembakan gas air mata. Juga semprotan air dari kendaraan water canon.

Di belakangnya para wartawan foto, juru kamera televisi dan jurnalis tulis merekam dengan peralatan apa saja situasi dan kejadian di depan mata mereka. Bersamaan dengan itu kebakaran besar terjadi di lokasi tawuran dan di dalam pasar berlantai tiga itu.

Arjo tergagap dari lelap sesaat tadi. Ia duduk termangu di bangku panjang teras lantai dua sebuah toko elektronik. Menunggu kapan tawuran akan berlangsung. Namun yang ditunggu tak juga muncul. Ngantuk, capek, kesal menunggu, dan rasa haus menjadikannya terlelap. Tidak ada tawuran, tidak ada perang. Dalam sejarahnya tawuran memang tidak pernah terjadi pagi hari dan apalagi direncanakan sedemikian rupa. Arjo terkecoh. Agaknya Siwi mengecohnya dengan telak!

Sementara itu di rumah mami Wasi terlihat Timo Chow dan Salim Buncis ikut rapat keluarga. Keduanya sesuai surat wasiat Haji Lolong akan diberi kedudukan dalam perusahaan yang ditinggalkan mntan preman itu. dua kelompok organisasi harus dibubarkan, sedangkan para anggotanya akan diberi bantuan modal untuk berwiraswasta. Hadir pula dalam rapat itu Pak Kapolres Kota Barat. Tidak mudah meyakinkan Timo dan Salim bahwa Haji Lolong sudah berubah sebelum meninggalnya. Masih ada ketegangan diantara mereka. Namun rapat berlangsung cepat, simpel, dan damai.***

Bandung, 21 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun