“Minta tolong? Pasti, pasti, Bang. . . . ! Akan saya lakukan selama memungkinkan untuk saya lakukan!”
Bang Robby menarik nafas panjang sebelum mengatakan sesuatu. Seperti berat untuk mengatakannya. Wajahnya kuyu, matanya menampakkan sorot yang lemah. Ia memandang lurus ke arah mata Arjo. Tersenyum kecil. Dan kembali mendekatkan bibirnya ke daun telinga Arjo.
“Aku minta nikahilah dia bila suatu hari nanti aku sudah mati. Umurku tinggal pendek, aku merasakannya. Jadi penuhilah keinginannya. Ia tak akan merepotkanmu karena kami kaya, tidak punya keturunan. Setelah itu kamu tidak perlu jadi tukang ojek lagi. . . . .!” ujar Bang Robby dengan begitu lancar. Kata-kata yang terucap dibibirnya seperti sudah begitu terencana. “Aku menyadari selama ini aku tidak belajar untuk mampu menyayanginya!”
Arjo terpana begitu rupa. Terkejut, dan tidak percaya. Ungkapan terus-terang dan bernuansa ironi itu gamblang di depan mata. Dalam hati ia mengeluh, belum selesai satu urusan kini muncul urusan lain yang tak kalah pelik. Lagi-lagi soal percintaan. Sementara ia mengejar cinta seseorang, tanpa disadari ada cinta lain yang menyelinap diam-diam mengejarnya.
“Tapi saya hanya seorang tukang ojek sepeda onthel, Bang. Miskin, tua, dan memprihatinkan. Tidak punya apa-apa. Apalah yang menarik dari diri ini. Jangan-jangan ada lelaki lain yang dimaksudkan oleh Tante Martje itu.. . . .!” gumam Arjo coba mengelak.
Gerimis di luar masih merinai. Suara satwa malam bersahutan. Bahkan suara tokek lantang menambah aneh paduan suara satw kala itu. Diam, tidak ada pembicaraan. Dua orang lelaki itu merenung dengan belitan pikiran masing-masing.
Bang Robby baru mau mengatakan sesuatu ketika Tante Martje berteriak dari balik dinding. Agaknya ia sudah pulang dari warung. “Bang Robby. . . . .! Kemana saja lelaki penyakitan ini! Tumben-tumbenan berani keluar dari kamar dan menghilang.”
“Hohoi. . . .Martje. . . .Martje, aku di sini. . . . di kamar sebelah kontrakan Arjo. . . . .!” kata Bang Robby sambil coba bangkit dari kursi dengan tergesa. Hampir jatuh tertelungkup ia kalau tidak cekatan Arjo menahan lengannya. Lalu dengan tertatih dituntunnya lelaki itu keluar pintu, untuk pulang ke rumahnya di balik dinding.
“Aku ngobrol dengan Arjo. Kutanya bagaimana kejadiannya hingga Haji Lolong meninggal malam itu. . . .!” ucap Bang Robby berbohong. Nafasnya sesak setelah itu.
“Boleh ngobrol apa saja. Tapi kalau memang perlu sama Arjo kenapa bukan lelaki itu saja yang diundang kemari. Biar aku juga bisa nimbrung ngobrol. Aku takut abang jatuh, lalu kumat penyakitmu itu.. . . . .!” Tante Martje ngomel dengan wajah cemberut. “Dasar lelaki penyakitan tak tahu diri. Biasanya juga di dalam kamar saja. Siapa yang repot kalau sampai jatuh,. . . . . !”
Tante Martje memang terkenal bawel dan cerewet sekali. Tapi demi melihat Arjo menuntun sang suami, raut muka perempuan itu berubah drastis. Kini senyum paling manis disodorkannya. Dan seketika Arjo tahu betul bahwa omongan Bang Robby benar. Insting seorang lelaki yang merasa kalah seringkali tepat. Perempuan paruh baya itu sangat polos memperlihatkan perasaannya . . . .!***