Arjo tak ingin mendebat lagi. Namun tiba-tiba ia teringat pada sebuah foto yang dimuat salah satu koran yang memperlihatkan ia sedang memanggul Haji Lolong. Cepat dikeluarkannya koran itu lalu disodorkan kepada Siwi.
“Ini saya sedang memanggul Haji Lolong. Saya bersedia memberi keterangan jika memang diperlukan, tapi perkenankan saya ikut mendengarkan dalam konferensi pers ini. Saya janji tidak akan ikut bertanya dan menanggapi!”
Siwi meninggalkan Arjo untuk berdiskusi dengan beberapa rekan yang lebih senior. Mereka ternyata tidak berkeberatan. Mereka bahkan senang karena mendapatkan naasumber lain yang mungkin punya informasi penting untuk diangkat di media mereka.
“Boleh, Bang. Tapi syaratnya tidak perlu bertanya dan mengemukakan pendapat apapun selama konferensi pers dengan Pak Kapolres ya. . . .!” ucap Siwi seraya menyerahkan daftar hadir untuk disisi. Nama lengkap, alamat media/rumah, nomor telepon yang dapat dihubungi, dan tanda tangan. Arjo mengisinya dengan lengkap dan cepat.
Arjo senang, langkah awal untuk mengetahui statusnya dalam pusaran persoalan keluarga besar Haji Lolong relatif tidak ada masalah. Uang sepuluh juta sebagai panjar atas janji pekerjaan yang bernilai milyaran rupiah pada satu pihak, dan janji akan mendapatkan pekerjaan strategis dengan gaji dan fasilitas memadai di pihak lain, menempatkan Arjo pada posisi sulit.
“Terimakasih. Kalau tidak berkebertan lagi, saya mengajak seorang teman yang kebetulan presenter salah satu media televisi dan anak dari korban kebakaran kemarin. . . . .” ujar Arjo kemudian.
“Ya. Silahkan saja. Syaratnya sama dan mengisi daftar hadir. . . . .!” jawab Siwi.
Arjo keluar pintu dan dengan isyarat tangan memanggil Wasi yang duduk di belakang kemudi mobilnya yang di parkir di halaman Mapolres. Wasi beranjak dari mobilnya, dan segera memasuki ruang konferensi pers. Beberapa jurnalis lain berdatangan. Wartawan tulis, juru kamera, jurnalis radio, dan media online. Undangan disebarkan melalui sms dan bbm. Ketika memasuki ruang konferensi pers beberapa wartawan merasa sudah sangat mengenal.
“Hai, mbak Wasi? Tumben. Beralih jadi wartawan kriminal ya. . . .?!” seru Siwi yang lebih dahulu menyapa dengan ramah.
“Ya, mau coba-coba saja. Kayaknya asyik juga ya?” ujar Wasi tidak ingin berterus-terang tentang maksud kedatangannya. “Sesekali kepingin juga untuk datang ke lapangan untuk menelusuri bagaimana idealnya mendapatkan narasumber yang kompeten. Selama ini tim kreatif saja yang mendominasi kemaunan mereka. Padahal presenter toh punya hak untuk ikut menentukan siapa-siapa narasumber yang akan diwawancarai dalam acaranya.. . . . .!”
“Ya, baguslah. Tapi dengan begitu jadi rambah repot lho. Jurnalis yang kerja di lapangan banyak menemui hambatan, terlebih untuk kasus kriminal. . . . .!” ujar Siwi sambil menyodorkan daftar hadir kepada Wasi. “Ohya, saya ikut berdukacita atas meninggalnya Pak Haji terkait dengan peristiwa kebakaran beberapa hari lalu. Semoga Pak Haji Lolong khunul khotimah, diterima iman-Islamnya. . . . . aamiin!”