Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cinta yang Menua - Bab VII – Satu (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

2 Juni 2016   23:31 Diperbarui: 4 Juni 2016   20:43 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana makin kacau ketika listrik dipadamkan dari gardu listrik terdekat. Selain dari kobaran api kebakaran, keadaan sekeliling  menjadi gelap. Suara jerit, tangis, sumpah-serapah, latah, dan pekik  bercampur menjadi satu karena panik, takut, dan terlebih juga rasa panas dan sakit tersambar jilatan lidah api. 

Arjo sempat terjatuh karena sangat kaget oleh bunyi ledakan yang memekakkan telinga. Namun secepat itu ia berdiri kembali dan dengan kesadaran penuh coba menyelamatkan diri. Hukum pertama dalam penyelamatan pada sebuah bencana yaitu menyelamatkan diri sendiri. Seelah itu baru membantu orang lain. Namun tiba-tiba ia teringat pada Bro Haji dan Wasi yang masih ada di dalam ruangan kaca.

Dengan berlari melawan arus orang-orang yang mau keluar, Arjo melompat ke sana- kemari, melompat dari satu meja ke meja lain. Api mengejar dari arah dapur. Sementara asep hitam legam memenuhi semua ruangan hingga  membatasi jarak pandang. Tujuan Arjo menuju ke ruang kaca di pojok kanan lantai pertama restoran. Letak yang berlawanan dengan posisi dapur. Ketika hendak memasuki ruang kaca ternyata pintunya tertutup rapat karena pembuka otomatisnya terkunci. Lelaki tua itu tak kehilangan akal, setelah mengambil ancang-ancang dengan sekuat tenaga Arjo menjejak pintu geser itu dengan kedua kakinya sekaligus. Kaca yang tidak terlalu tebal itu pun pecah berantakan, dan ia menerabas masuk.

“Ohh, untunglah abang datang. Cepat selamatkan papi. Ia sangat terkejut oleh ledakan dan kebakaran begitu besar sehingga jatuh pingsan.. . . . .!” seru Wasi dengan wajah gemetar ketakutan setengah menangis.  Haji Lolong tergeletak di lantai dengan kepala disangga kedua tangan Wasi yang berjongkok dengan kaki dilipat ke belakang.

“Pingsan? Ayo cepat kita selamatkan. . . . .!” ucap Arjo, lalu cepat ikut berjongkok.

“Aku khawatir Abang tidak mampu mengangkatnya. Tubuh papi kulihat lebih besar daripada tubuh abang...!”

“Tenang saja, jangan khawatir.  Abang angkat Bro Haji keluar gedung, Neng mengikuti saya di belakang ya. . . .? Ayo, cepat. . . .cepat. . . .!” teriak Arjo ketika berhasil mengangkat tubuh Haji Lolong di atas pundaknya, kaki di depan dan kepala menempel di punggung.

Wasi tidak berucap apapun selain mengikuti perintah Arjo. Berjalan cepat di belakang punggung Arjo menerobos asap dan api di kanan-kiri sambil memegangi kepala papinya, menjaga dari benturan.

Sementara itu suasana makin panik, kacau, dan hiseris melanda pengunjung dari lantai pertama hingga ketiga restoran.

“Tolong. . . . ., tolong. . . . . .! Mampus aku. . . . .” teriak seorang tamu yang berdesakan begitu brutal dengan puuhan orang lain di lantai pertama.

“Ayo cepat lompat saja! Lompat. . . . .!” geram seorang pengunjung lain kepada orang-orang paling depan ketika tangga turun daari lantai dua sudah penuh orang yang hendak turun menyelamatkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun