Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua - Bab VI – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

27 Mei 2016   08:02 Diperbarui: 27 Mei 2016   08:11 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Apa kamu semacam ular pithon yang sekali makan lalu puasa seminggu lamanya untuk kembali mencari mangsa?” tanya Haji Lolong dengan setelak menelan kunyahan terakir di mulut.

“Tergantung mangsanya, Bro Haji. Kalau mangsa terakhir seekor anak sapi mungkin sebelan bila melingkar diam tak bergerak agar mangsa tercerna dengan baik. . . . .  .!” tambah Arjo ketika kembali duduk di tempatnya semula. “Bayangkanlah kalau manusia memiliki cara makan mengikuti ular pithon. Sekali makan menelan anak sapi, tapi tidak menunggu ganti hari -apalagi minggu- sudah lapar untuk mampu menelan apa saja yang ada di depannya. . . . . .hahaha. . . .!”

“Tepat sekali pengandaianmu, Jon Bongsor. Kamu cerdas kalau disuruh mencari kata-kata dan ungkapan yang tepat untuk dilontarkan. Kamu berbakati jadi politisi yang harus selalu siap bersilat lidah dan ngomong apa saja di depan media. . . . . .!” ujar Haji Lolong sambil mengacungkan jempol tangan kanannya. Ia berhenti memasukkan makanan untuk memberi kesempatan Wasi duduk dan mulai memilih makanan yang disukainya.

Dengan bersemangat Wasi memilih makanan dan menaruh di atas piring. Tidak banyak, tapi cukup lengkap untuk mencoba bebrapa masakan.

“Saya mendapatkan kata yang tepat. Namun Bro Haji barangkali merasa tersindir dengan ungkapan tentang cara makan ular pithon pada diri manusia ya?”

Haji Lolong melihat Arjo dengan pandangan ganjil. Lalu tersenyum, seperti menemukan pikiran lucu terhadap apa yang disampaikan Arjo.

“Apa kata-kataku terdengar aneh?” ucap Arjo melanjutkan.

“Coba camkan sendiri kata-katamu tadi. Apa bro Haji barangkali merasa tersindir dengan ungkapan tentang cara makan ular pithon pada diri manusia? Camkan. . . . Apa bukan Jon Bongsor sendiri yang seperti manusia yang memiliki cara makan seperti ular pithon?”

“Kenapa?”

“Makan terlalu banyak, lalu perut melilit, bahkan akhirnya dimuntahkan kembali. Karena terlalu banyak yang ditelan, terlalu cepat. Sementara makanannya pedas sekali. Jadi bukan karena ada racun.  Padhal tadi sudah sempat curiga, bahkan maumenuduh macam-macam. Bukankah begitu?” ujar Haji Lolong setengah meledek.

Arjo terdiam lama. Melihat Haji Lolong dengan pandangan tidak percaya. Wajar kalau ketemu orang baru timbul kecurigaan. Tapi ternyata. . . . Arjo merasa terkecoh. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun