buku gaganawati stegmann
Mbak Gana,
Tidak hanya arah belakang yang perlu rajin ditengok-tengok, melainkan juga kenangan, terlebih semua apa yang telah dan sudah dilakukan yang tiba-tiba disadari kini menjadi semacam ‘sejarah’. Dan alangkah mengharukan semua lekuk-liku setapak yang pernah dilewati, ketika disadari semua itu tidak mudah, dan lebih jauh ternyata alangkah nikmat meski banyak hal mengharukan.
Itu secuil ungkap atas sosok seorang Gaganawati yang bersuamikan Stegmann wong Jerman, yang menulis banyak hal tentang negeri dari seberang jauh sana. Perempuan Jawa yang kesengsem pada bule, dan kemudian tak pernah lupa akan ke-Indonesiaan-an yang khas, unik, agak aneh, dan sering bahkan ‘nggilani’ (lebih dari sekadar gila). Tapi satu hal yang perlu dicatat, tidak ada keluh, tidak ada jengah, terlebih serapah untuk semua yang berbeda, yang membuat jengkel dan geram, yang tidak mengenakan hati, melainkan semua semata menjadi bahan tulisan yang bernas dan  laporan otentik seorang seniwati tari bukan jurnalis formal.
Untuk Mbak Wati,
Lima tahun konsisten menulis (30 April 2011 – 30 April 2016), hingga numpuk pada angka seribu artikel, dengan aneka corak, tema, gaya, bahkan sekedar coretan yang sambil-lalu dan terkesan ala kadarnya pun menjadi sajian yang bernilai, kalau tidak mau disebut berbobot.
Itulah Gaganawati Stegmann, satu diantara sejumlah penulis perempuan Indonesia yang menjadi diaspora di berbagai belahan benua. Disadari atau tidak Indonesia, khususnya media online maupun media sosial menjadi kaya, bangga, dan tidak picik, tidak nyinyir pada hal-hal remeh dan mengada-ada, serta semata sikap minderwardigheidcomplex model bangsa terjajah ratusan tahun yang sungguh tidak mudah dibangkitkan. . . .
Begitulah Mbak,
Tulisan ini sekedar ucapan selamat atas nilai-nilai optimisme dan berbaik sangka atas berbagai peristiwa di depan Mbak, apapun yang telah dialami dan rasakan, untuk dibagikan dan disebarluaskan meski tidak diniatkan untuk bermuluk-muluk terlebih untuk menepuk dada kesombongan. Maka alangkah baik  saling berkaca dan menjadi pembanding siapa dan sudah seberapa peran kita untuk sesuatu yang disebut baik, bagus, berguna, memotivasi, jujur,  santun, akrab, dan ramah.
Lima tahun bukan waktu yang pendek, dan terbukti sudah begitu banyak catatan silam yang dapat dirangkai menjadi untaian kenangan. Maka bila semua itu menjadi kesejarahan, kiranya menyangkut pula Kompasiana dan para Kompasianers yang saling berinteraksi, memberi semangat menyembuhkan, memberi solusi, dan menguatkan raga-rohani dan pikiran sehat yang layak untuk terus dijalani. Mudah-mudahan sosok Mbak Gana memotivasi siapapun yang lain untuk menjadi lebih dan berupaya lebih lagi. . . . . .
Akhir kata. . . .
Mudah-mudahan masih ada tahun depan, lima tahun ke depan, dan seterusnya. Buat mbak Gaganawati dan para diaspora lain dimanapun yang setia menuliskan ke-Indonesiaa-an mereka di media online dengan jujur. Hingga kelak negeri ini dan warganya di mana pun bertempat tinggal mampu membuat capaian tertinggi untuk kemanusiaan dan kesejahteraan manusia. Hingga suatu hari kelak kembali muncul keharuan saat menengok, disertai linangan air mata bahagia. Tetaplah menulis dengan hati, teruslah menginspirasi, lanjutkan menuang kesejukan dan kedamaian lewat getar jamari di atas tuts huruf-huruf  tiada henti. . . . .
Salam hangat, salam kreatif menulis. . . .
Bandung, 7 Mei 2016
Sumber gambar : https://twitter.com/gaganawati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H