Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua - Bab V – Tiga

7 Mei 2016   17:06 Diperbarui: 7 Mei 2016   17:12 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Begitu ya? Orang jalanan macam kita ini kapan sempat punya waktu melakukan sholat selain sekadar yang lima waktu? Apa Abang juga melaksanakannya?”

“Tidak rutin tapi melakukan. Sayangnya aku termasuk yang gagal dalam soal rumah-tangga. Jadi sudahlah. . . . . .!” ucap Arjo terhenti melihat Aa Enjang sudah menjauh dengan melambaikan tangan.

Sibuk dengan aneka kegiatan entah apa, Arjo tiba-tiba teringat harus segera menelepon Haji Lolong. Pasti lelaki itu –entah bagaimana bentuk dan rupanya, karena belum pernah ketemu langsung- pasti sangat geram dipermainkan. Dari tadi Arjo mencari-cari akal bagaimana meralat tipuannya soal Bachtiar David tadi. Namun bukan Arjo kalau kehilangan kemampuan berubah-ubah karakter. Dengan memperlihatkan wajah, gerakan tubuh, juga warna suara maka orang akan percaya pada peran apa yang sedang dibawakannya.

Arjo punya pikiran untuk berdusta saja dengan mengatakan seperti yang dikemukakan Bachtiar David: ponsel ketinggalan, ditemukan orang yang mau mengembalikan asalkan ditebus.

“Hallo, Pak Haji? Haji Lolong di sana?” seru Arjo dengan suara ditekan agar tidak terlalu berisik mengganggu jemaah di sekitarnya.

“Arjo? Kamu di situ? Mau bohong apa lagi?” sahut orang dari seberang sana. Agaknya benar, Haji Lolong masih menampakkan rasa geram seperti terdengar dari nada suaranya.

“Maaf tadi. . . . .!” Arjo coba berkilah, namun suara di seberang sana lebih cepat menyerobot.

“Kamu sekarang ada di mana?”

“Di Masjid Al Furqon, belakang terminal bus Kampung Batu Apung. Rasanya malam ini saya tidak bisa memenuhi janji untuk bertemu. Besok pagi-pagi saja. Pagi dan siang ada persoalan yang begtu berat harus saya selesaikan, hingga hampir saja saya melupakan ada janji dengan Pak Haji. . . . .!” ungkap Arjo dengan agak anjang-lebar karena yakin orang di seberang sana masih memasang kuping di ponsel. “Tapi ngomong-ngomong urusan penting apa sehingga Pak Haji memerlukan saya yang bahkan kita belum saling kenal. Saya was-was jangan-jangan Pak Haji mau mencelakai saya, membuat saya jadi santapan buaya misalnya, atau mengupas seluruh kulit saja untuk dibuat kerupuk. . . . . . .!”

Agak ngelantur Arjo ngomongnya. Sebab dirasa lawan bicaranya tidak bereaksi sama sekali. Bahkan tidak menyahut apapun. Jangan-jangan ponsel Haji Lolong digeletakkan begitu saja, lalu ditinggal untuk beranjak entah kemana.

Ketika adzan Isya’ digemakan melalui loudspeaker masjid, Arjo bergegas membuang gelas plastik yang telah kosong, lalu menuju ke ruang wudhu. Pada saat itu seorang laki-laki menggamitnya, dengan berbisik : “Setelah sholat Isya; kita bertemu dengan Haji Lolong ya. . . . .!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun