Arjo tersenyum sendiri pada rnangan narasi dan dialog yang mungkin ditulisnya bila mengharuskannya menuliskan kejadian itu untuk ceria fiksi. Sekali lagi ia mengelus kain luar saku celana yang berisi dompet dengan jutaan rupiah isi uang di dalamnya.
Arjo kembali terduduk di atas karpet panjang bergaris-garis, seukuran sajadah, yang bisa digulung. Ia mendapatkan sandaran di dekat tangga ke lantai dua. Dalam hati Arjo membatin, meski tidak terlalu besar masjid ini ditata artistik, khas masjid perkotaan.
Dengan tata lampu, pernak-pernik hiasan, kaligrafi, dan ragam hias lain. Lantai marmer ditutup karpet warga hijau lumut. Sedangkan sekeliling dinding terbuat dari kaca tebal dengan lukisan dekoratif sederhana. Adapun gantungan lampu-lampu dengan bohlam pijar pada banyak tempat menjadikan suasana terang-benderang namun sejuk. Terlebih dengan empat buah alat pendingin, ruangan yang menjadi sejuk. Pasti orang-orang menjadi sangat khusuk menjalankan sholat dan aneka bentuk ibadah lain ketika berada di dalam masjid.
Arjo melirik pada jam dinding di atas mimbar. Beberapa menit lagi adzan sholat Isya akan segera dikumandangkan. Ketika berdiri untuk berjalan ke arah tiba-tiba ponsel Arjo nyaring berdering. Terpaksa Arjo membalik langkah menuju ke teras masjid agar suaraanya tidak mengganggu jamaah lain.
“Árjo. . . . . !” suara geram dari seberang sana. “Jadi betul kamu hendak lari dari aku ya. Seharian ini kutelepon tapi alat komunikasi rongsokmu itu tidak berfungsi dengan baik. . . . .!”
“Siapa ini?” Arjo berpura bego, dengan nada dan warna suara dibuat berbeda sama sekali. Ia berpikir keras bagaimana cara mempermainkan lawan bicaranya, untuk menguji kematangan emosi, sekaligus memberi pembelajaran tentang arti waspada.
“Haji Lolong!” bentak suara di seberang sana seperti orang kalap. “Aku bisa berbuat apa saja untuk memaksamu melakukan apa yang aku mau. Kutunggu sampai tengah malam, kalau tidak datang ke depan Pasar Klengkeng rasakan akibatnya besok. . . !”
Arjo terkekeh sambil menjauhkan ponselnya dari telinga. “Namaku Bahtiar David. Baru saja kutemukan ponsel ini tergeletak di meja rumah makan. Jadi aku tidak tahu ada persoalan apa dengan pemilik ponsel ini.. . . .!”
“Jangan bohong. . . .! Kamu Arjo!”
“Bukan. Aku Bachtiar David. Coba lihat dengan teliti ke mari. . . . .!”
“Hahh?”