Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua #Bab IV – Dua (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

22 April 2016   21:48 Diperbarui: 22 April 2016   22:20 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="perkebunan teh"][/caption]

Hari beranjak siang, namun udara di dalam rumah tetap dingin. Di luar rumah sorot matahari tertutup awan. Suasana perbukitan dengan hamparan kebun teh menghijau sejauh mata memandang. Tidak ada kebisingan lalu-lintas, tidak ada kesibukan hilir-mudik manusia.

Setelah pikiran jernih dan rasa sakit dapat diatasi, Arjo melihat sekeliling. Dapur dengan segala perabotannya. Tiba-tiba betapa haus dan lapar mengganggu perut. Tapi tidak ada air minum yang mudah dijangkau. Ia coba berdiri dan menggerak-gerakan tangan dan kaki yang mati rasa. Ia sekali lagi melihat sekeliling sambil berpikir, betapa bodohnya si penyekap siapapun dia karena membiarkan si pesakitan meloloskan diri.

Menyadari apa yang dialaminya, Arjo tersenyum sendiri. Ia teringat pada sebuah drama pendek dengan cerita serupa yang pernah diperankannya. Sebagai maling, Arjo tertangkap polisi dan dimasukkan ke dalam sel untuk menunggu proses persidangan. Tapi dengan mudah Arjo melepas ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya, lalu memperlebar pintu sel yang sudah terbuka tanpa dikunci. Di luar sel seorang polisi muda yang berjaga pura-pura tertidur dengan posisi duduk di kursi kayu menghadap tembok.

“Kenapa kamu membiarkanku melepaskan diri? Apa kamu sudah gila?” kata Arjo dengan suara lantang. “Polisi malam apa kamu ini? Mampu menangkap maling tapi tak sanggup menjaganya dengan baik. . . . .!”

Pak Polisi muda itu tidak menggeser duduknya. Masih menghadap tembok dengan santainya.  Lalu terbatuk-batuk kecil menandai ia sudah bangun, dan berkata pelan. “Banyak polisi yang menghadapi situasi sulit.  Tapi sesulit apapun tidak pernah seperti pengalamanku ini. . . . .”

“Maksudmu apa? Apakah aku merepotkanmu?”

“Sangat merepotkan.. . . .!”

“Tugas polisi memang repot!”

“Nah, kamu sendiri apa tidak aneh. Diberi kesempatan lari malah membangunkan Polisi yang  menjaga.. . . . !”

“Aku cuma penasaran. Sebelum lari aku harus mencari jawab atas rasa penasaranku. . . .!”

Polisi penjaga sel itu tiba-tiba memutar posisi duduknya. Dan seketika Arjo terjingkat kaget.

“Maling yang berhasl kutangkap hari ini tak lain adalah bapakku. . . ! Orang yang siang malam menasehatiku untuk tidak bertindak curang, apalagi maling!” ujar Pak Polisi yang ternyata anak sulung  dari isteri pertama si maling. Begitu tidak pedulinya pada isteri dan anak, bahkan ketika salah seorang anak menjadi Polisi.

Arjo yang berperan sebagai maling berpura sangat kaget, lalu kumat sakit sakit bengeknya, dan jatuh pingsan.  Penonton tertawa tergelak-gelak oleh akting kedua pemeran itu. Lampu panggung dinyalakan semua, terang benderang. Semua pemain keluar dan berjajar rapi untuk memberi penghormatan kepada penonton. Dan drama komedi 90 menit dengan berjudul ‘Konon Katanya’ garapan Teater Kompor itu pun paripurna . . . .

Arjo masih tersenyum ketika melihat sebuah keran air tidak jauh dari situ. Tidak ada galon air, tidak ada minuman apapun di kulkas, Keran di bak pencucian piring diputarnya, air jernih mengucur deras. Diambilnya sebuah gelas di rak piring untuk menampung air Satu, dua, tiga gelas sekaligus diminumnya untuk menghapus rasa haus. Namun bersamaan dengan itu rasa lapar giliran yang datang.

Belum sempat membuka lemari kayu yang ada di dapur itu, terdengar dari jauh sebuah mobil datang. Jalan aspal kasar, berbatu-batu, dan naik-turun, menjadikan suara mesin terdengar sampai jauh. Arjo berpikir keras apa yang akan dilakukannya. Pilihannya melarikan diri, atau menghadapi siapapun yang datang. Lelaki tua itu mendekati jendela kaca di ruang depan yang dibiarkan terbuka.

Belum sempat melihat ke luar jendela, didapatinya dua orang tergeletak di lantai. Bau meniumn keras masih menyengat hidung. Maka cepat Arjo menyimpulkan merekalah yang telah menyandera dan membawanya kabur sampai ke tempat terpencil ini. Maka dengan refleks dihajarnya lelaki itu satu persatu dengan dua-tiga tendangan di bagian perut masing-masing.

“Mampus! Ini pembalasannya. . . .. sebelum nanti penjara menghadang kalian!” ujar Arjo dengan setengah menggeram karena benci dan marah menjadi satu.

Tidak ada reaksi. Keduanya mabuk berat, dan tidak bersuara apapun kecuali lenguhan pendek. Arjo yang kala muda pernah jadi pemabuk membayangkan betapa sakitnya nanti bila mereka sadar dari mabuk. Terlebih dengan bekas tendangan yang jatuh utuh di tubuh mereka.

“Rasakan sakitnya nanti setelah sadar. Mampus kalau mau mampus.. . . . .!” ujar Arjo. Ia menemukan akal untuk membuat pembalasan. Kebetulan ia mengenakan sepatu menggunakan tali. Maka tali sepatu itu dicopotnya, lalu diikatkan ke tangan orang pertama yang berbadan besar. Lalu ke tangan orang kedua yang kurus. “Masih ada yang kurng. Pembalasan belum sepadan. . . . .!”

Arjo mencari-cari alat untuk menutup mata mereka.  Di dapur ada beberapa lembar kain-kain lap yang tampak kotor.

“Nah, ini ada kain yang sangat cocok untuk membuat kalian terjebak dalam kegelapan. . . .!”   

Sementara itu didengarnya suara mobil makin dekat. Jalan yang naik turun membuara suara mesin mobil  timbul-tenggelam dalam pendengarannya. Arjo panik untuk segera mengambl keputusan: lari atau menghadapi? Ia bergegas ke ruang belakang. Dilihatnya sebuah mobil terparkir di sana. Arjo berpikir mungkin ia dapat melarikan diri dengan mobil itu. Tapi pasti gampang dilacak, dan bisa jadi malah celaka kalau tertangkap polisi. Tuduhan justru bisa berbalik. Korban kriminal malah jadi buronan. . . . .

Sesampai di depan pintu gerbang, mobil sport warna hitam itu ternyata tidak masuk pekarangan. Namun terus meluncur ke arah lain mengikuti jalan kawasan perbukitan teh itu. Sampai beberapa menit kemudian suara mesinnya tidak terdengar lagi.

Arjo bernafas lega. “Untunglah. . . .! Masih ada waktu untuk merencanakan tindakan apa yang harus diambilnya!”

Arjo terduduk di kursi dekat jendela belakang. Kembali sakit di sekujur tubuh dirasakannya, lalu juga rasa lapar yang melilit perut. Ia berpikir mungkin ada sesuatu yang bisa dimakan. Maka ia cepat membuka-buka kitchen set, laci, dan lemari yang ada siu. Tapi tidak ada apapun. Bahkan bahan makanan pun tidak ada.  “Mungkin sudah cukup lama rumah ini tidak ditempati. . . .!” gumam Arjo sendiri. Beruntung masih ada sisa kopi dan gula di toples. Dengan cepat Arjo menuju ke arah kompor dan menyalakannya: menyala.

Maka segera ia menjerang air untuk membuat air kopi. Lumayanlah ada kopi untuk pengganti makanan. Tidak sampai sepuluh menit air mendidih. Arjo menuangkan kopi dan gula ke dalam cangkir, lalu air panas itu dituangkannya sekaligus.

Arjo kembali duduk, dan menunggu sampai air kopi tidak terlalu panas. Cuping hidungnya sudah kembang-kempis oleh rangsangan bau yang kopi menyengat. Arjo membayangkan kalau saja waktu itu ada roti bakar panas-panas. Dioles sedikit mentega, lalu dipotong bentuk dadu kecil-kacil. Dengan garpu potongan roti itu dicelup ke dalam air kopi, lalu sekali  pelan-pelan dimasukkan ke dalam rongga mulut. . . . Ooh, leker. Tobat enaknya. Perut lapar, makanan datang panas-panas. . . . .

Bau harum seketika meruap ke udara. Angin siang yang bertiup dari jendela dapur menyebar ke ruangan dalam, bahkan hingga ke ruang depan. Agaknya bau harus itu yang membuat kedua orang yang mabuk di sana mulai siuman.

Sambil bejalan ke ruang depan Arjo teringat beberapa percakapan kedua orang yang membawanya lari itu dalam perjalanan.

“Aku heran apa saja maksud Bos. Menculik tukang ojek sepeda, apa untungnya coba?” ujar si suara berat  setengah berteriak.

“Pasti ada tujuannya. Mungkin saja ini soal utang-piutang, atau apa. Tapi bisa jadi urusan cewek, siapa tahu orang ini merebut cewek Bos. . . . .!” suara orang kedua, yang kecil, tidak terlalu terdengar.

“Atau jangan-jangan orang ini informan polisi? Informasinya banyak merugikan bisnis Bos kita?”

“Mungkin saja. . . . .”

“Tapi Bos mengambil resiko besar dengan menuliknya. Kalau sampai terendus polisi urusannya jdi runyam. Kita juga yang jadi pesakitan. . . . .!”

“Ahya, sudahlah. Semua serba mungkin. Tapi kita tidak perlu tahu semua aurusan kita, kita hanya orang bayaran, orang suruhan. Kalau dibayar sesuai perjanjian selesai urusan. Kita cari pekerjaan lain yang duitnya gede. . . . . .!” suara berat itu makin samar.

Arjo hanya mengingat ada satu pukulan yang menimpa dahinya. Setelah itu ia pingsan. Dan tiba-tiba ia sudah berada di tempat ini. . . . .

Teringat lagi perilaku mereka Arjo ak dapat menahan emosi yang kembali meninggi. Maka satu tendangan masing-masing mendarat di dahi mereka. Keduanya mengaduh dan seketika itu mereka betul-betul sadar. Arjo menahan langkah ketika didengarnya kedua orang mulai meracau penuh kemarahan.

“Bangsat, Codot. . . . . Kamukah yang mengikat tanganku ini, kau tutup pula mataku. . . . .!” ujar si badan besar,

“Kamu Burik, yang bangsat, laknat, bau bangkai. . . . ! Kamuyang mengikat kedua tanganku ini? Kamu juga yang menutup mataku?” ujar Codot tak kalah marah.

Dua orang itu salih tuduh dengan kata-kaa kasar, dan kemarahan memuncak. Arjo sengaja tidak mengikat kaki agar keduanya bebas bergerak. Dan benar saja, begitu kesadaran pulih sama sekali maka cepat keduanya dapat berdiri. Lalu dengan bahu dan kepala keduanya saling tubruk, saling benturkan, dan akhirnya mereka jatuh terguling-guling dengan kulit memar-memar.

“Modar kamu, Codot. . . .! Badanmu terlalu ringkih untuk jadi preman. Menjadi sopir pun tidak layak, terbukti Bos sering memarahimu!” ejek Burik untuk memancing Codot menjawab sehingga diketahui posisi temannya itu. Mereka baru menyadari sama-sama  dangan tangan terikat dan mata tertutup.

“Kamu duluan yang modar. Badanmu besar tapi otak kosong. Bekerja dengan modal dengkul membuatmu jadi orang paling sombong se dunia. . . . . .!”

Perkelahian itu sangat tidak seimbang. Burik berbadan besar dan kuat. Sebaliknya Codot kurus kering dan ringan seperti kerupuk. Namun kemampuan Codot untuk berkelit sangat jempolan. Beberapa kali tubrukan Burik gagal, ia justru jatuh sendiri menghantam tembok. Emosi tinggi itu berakhir di kolong meja. Pingsan.

Arjo mengenali keduanya dengan nama Burik dan Codot. Tapi keduanya tidak pernah menyebut satu namapun siapa yang mereka sebut si Bos itu. Melihat Burik kembali pingsan, Arjo mendekati Codot dan dengan satu pukulan di tengkuk lelaki kurus itupun kembali jatuh pingsan.

Dengan kekajaman terakhir yang dilakukan itu tiba-tiba Arjo menemukan ide bagus. Sebuah mobil terbakar di dasar jurang dengan dua penumpang di dalamnya, tentu menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan kasus penculikan yang salah alamat ini. Arjo tersenyum sendiri pada akal kriminalnya itu. Otaknya kembali pada kopi panas di ruang belakang yang sudah menunggu. Dengan bergegas ia berjalan ke ruang belakang. Arjo kaget sekali dan menghentikan langkah dengan canggung. Di sana sudah duduk seorang perempuan berkulit terang dan berambut pendek dengan penampilan sangat maskulin. . . . . .

(Bersambung)

Bandung, 22 April 2016

Sumber gambar : kebun teh

Cerita sebelumnya : bab-iv-satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun