Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua # Bab III – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

14 April 2016   21:49 Diperbarui: 14 April 2016   21:56 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Terimakasih. Pasti kopi hitam kapal hantu yang paling kusukai. Baunya sudah sangat kukenal. Maaf Mas Dayu, boleh aku. . . . . .!” Wasi sudah mengulurkan tangan untuk mengambil cangkir kopi.

“Ohh, silahkan diminum dulu sebelum lanjut. Kuenya juga enak lho. Kue tradisional dari toko langanan kami. Pasti ketagihan deh. . . . .!”

Wasi cepat menyeruput kopi hitamnya dengan hati-hati. Ia takut lipstiknya tertempel kopi. Masih sangat panas, namun justru di sana salah satu kenikmatan minum kopi. Kombinasi antara rasa kopi asli, aroma menusuk, dan panas yang menyengat. Seketika Wasi merasa semangat hidupnya terbangun. Sebuah sensasi kopi yang selalu dirindukannya lebih dari minuman apapun yang pernah sesesapnya.

Sepotong kue dari bahan beras dioven dengan warna-warni coklat digigitnya sedikit demi sedikit. Dirasainya dengan ujung lidah. “Enak sekali. Terima kasih atas suguhannya!”

“Asal nggak sering-sering saja. . . . hehe!”

“Oke, lanjut ya. . . . .!” ucap Wasi kemudian. “Terlalu panjang kalau mau diurutin. Tapi intinya begini, aku tidak bisa memenuhi kewajiban untuk menjadi host kemarin. Pengobatan di rumah sakit itu yang menjadikanku tidak dapat kembali ke studio. Waktu sudah mepet ketika kecelakaan terjadi. Karenanya tidak ada kata lain kecuali permohonan maaf, kepada Mas Dayu, terlebih juga kepada perusahaan. Aku siap apapun hukuman yang harus  kuterima. . . . .!” 

Mas Dayu tidak segera berkata sesuatu. Ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Agak berat untuk diungkapkan mungkin. “Oke, terimakasih, Wasi ya. Sudah cukup jelas cerita kejadian kemarin. Nah, sekarang giliran saya bercerita. . . . .!”

Wasi terenyum, dan kembali meraih cangkir kopi untuk meminumnya hingga tandas, tinggal ampas. Ia menyiapkan hati untuk menerima apapun balasan atas ketidakhadirannya kemarin.

Pesawat telepon lokal berdering. Mas Dayu mengangkat gagang telepon. “Selamat pagi, Bos. Maaf saya terlambat ikut rapat. Ini sedang menerima kedatangan Wasi, membahas soal kemarin. . . . . !”

Terdengar suara tidak jelas dari ujung sana. Wasi mendengar lamat-lamat. Mas Dayu berdiri untuk menemui Bos. Ia minta izin pada Wasi untuk meninggalkan ruangan sebentar.

Hanya beberapa menit Mas Dayu sudah kembali. Wajahnya tampak diliputi senyuman entah mengapa. Wasi hanya menduga-duga ada kabar baik sehingga ia tidak mampu menyembunyikan perasaannya itu. Lelaki itu kembali duduk di kursinya dengan sekali gerak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun