[caption caption="cup of caffee - www.artnewsblog.com/cup-of-coffee/"][/caption]Wasistra Anggraini melihat sekeliling, menata hati, dan mengambil nafas panjang sebelum berkisah. Sejenak wajahnya menegang, dan dengan cepat perasaan cemasnya dapat dikuasai.
“Sebuah cerita yang memalukan sebenarnya. Namun akibatnya memang sangat tidak mengenakkan.. . . . .!” Wasi memandang ke arah Mas Dayu untuk mencari reaksi apa yang mungkin timbul. Namun wajah lelaki di depannya datar, dan menunggu. “Aku berangkat dari rumah dua setengah jam sebelum acaraku on air. Itu sudah kuperhitungan cermat, dengan selang waktu yang kukira lebih dari cukup.”
Mas Dayu tidak bereaksi. Wasi melanjutkan. “Namun hari itu agaknya bukan hari seperti biasanya. Bus kota yang kutumpangi terlampau lambat bergerak. Entah ada unjuk rasa apa di jalan. Aku ganti naik taksi. Hingga di ujung jalan Kelabang Hitam, sekitar dua kilo dari sini. Karena macet luar biasa, aku naik ojek sepeda onthel. . . . . Sebuah ide yang datang sangat mendadak sebetulnya. Tapi rasanya itulah pilihan terbaik. Ojek sepeda onthel bebas mau menggunakan jalan siapa dan apa saja. Tidak ada orang yang melarang-larang!”
“Oh, begitu ya? Terus?” Mas Dayu mengambil berkas di samping kanan meja, dan mulai membuka-buka. “Ehh, maaf sebentar, ada yang terlupa! Ada yang perlu ditandatangani segera.” Lalu ia melambai pada seorang sekretaris di balik kaca ruangan sebelah. Gadis kehitaman semampai itu mengambil selembar kertas yang disodorkan Mas Dayu.
“Maaf! Silahkan teruskan.” ucap Mas Dayu kemudian.
“Seorang Bapak tua yang jangkung dan tampak berwibawa dibandingkan penampilan fisiknya menyorongkan boncengan sepedanya padaku. Tanpa berpikir panjang aku melompat, dan menempatkan pantat di boncengan sepeda itu. Waktu masih cukup banyak dalam perkiraanku. Aku menikmati sensasi meliuk-liuk di atas sepeda onthel diantara orang-orang yang berjalan kaki di trotoar, naik turun trotoar ke aspal. Namun sebuah peristiwa tak terduga tiba-tiba terjadi begitu saja.. . . .”
“Ada lubang besar yang tertutup dari pandangan?” Mas Dayu mendahului, ikut menduga-duga apa yang terjadi.
Wasi tertawa sambil menggeleng. “Sebuah sedan mewah nyelonong tak terkendali, dan menghantam sepeda yang kami tumpangi. Sial sekali memang. Aku dan Pak Tua tukang Ojek terpental jatuh.. . . . .” Wasi berhenti bicara sambil menahan tertawa. “Aku sempat dibawa ke rumah sakit entah oleh siapa. Begitu banyak orang hendak membantu. Hanya lecet-lecet dan sedikit pusing karena benturan. Tapi malunya itu. . . . . .!”
“Hati-hati lho, jangan-jangan dompet atau tesmu hilang. Dalam peristiwa kecelakaan, diantara orang-orang yang memberi pertolongan ada yang hanya mencari kesempatan untuk mencopet. . . . .!”
“Alhamdulillah tidak ada yang hilang, semuanya utuh. Kecuali mungkin muka. . . . ya, aku kehilangan muka karena terjatuh saat naik ojek sepeda onthel gara-gara diseruduk mobil ugal-ugalan!”
Seorang karyawan rumah tangga membawa baki dengan cangkir kopi hitam panas dan beberapa potong kue basah di atasnya. Wangi bau kopi menyengat di ruangan berpendingin itu. Seketika Wasi tersenyum. Ditungguinya karyawan itu meletakkan baki sangathati-hati di sisi meja, dan dengan isyarat tangan mempersilahkan tamu untuk meminumnya.