[caption caption="my diary event fiksiana community"][/caption]
My Diary
Selalu ada yang ingin kuungkap, namun ragu apakah ini penting bagi orang lain. Karena semua ini hanya terjadi dalam keluargaku. Cerita yang aneh mungkin, tapi bukan tak mungkin terjadi pula pada keluarga lain. Betapa yang lemah selalu saja dilupakan, disingkirkan, bahkan ditinggalkan, meski itu untuk seorang isteri bahkan ibu. Dan hal itu yang kutahu persis terjadi atas diriku.
Malam itu, belum terlalu larut. Kami berkumpul di ruang tengah. Aku terbaring dengan kepala ditegakkan. Dan pembicaraan panjang dilakukan suami, sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan, namun isinya tidak berubah dari minggu lalu, sebulan lalu, tiga bulan lalu: mengajakku pergi.
“Pergi saja kalau memang sudah berbulat hati untuk pergi, sekalian dengan yang lain. Bikinlah senyaman dan semudah mungkin. Kudoakan semua lancar. Dan jangan pernah kembali lagi. Aku masih cukup kuat untuk hidup sendiri meski dalam keadaan sakit seperti ini. . . .”
Itu kata-kata terakhirku sebelum mereka berangkat. Ya, suami dan empat anakku akan meninggalkanku begitu saja. Sebenarnya aku diajaknya pula, namun aku menolak. Sangat tidak mungkin dalam kondisi sakit begini melakukan perjalanan jauh, sulit dan membahayakan. Harus naik-turun bus umum, berganti-ganti pula, sebelum kemudian naik kapal penumpang, lalu naik ojek, ke pulau terpencil jauh di utara sana. Aku tegas menolak.
“Kita sudah tidak punya apa-apa lagi di sini, Bu. Itulah sebabnya kita harus pergi untuk mencari harapan baru, ditempat baru. Kang Muryawan sudah menjamin bakal memberi kita sebidang tanah di seberang sana. Kita boleh membangun rumah sederhana di atasnya. Lalu berladang palawija sambil bekerja apa saja untuk menyambung hidup. Kita masih punya harapan di sana, Bu. . . . .” bujuk Sukir, suamiku, dengan suara lembut, sekata demi sekata seperti orang mengeja bacaan yang sulit dilafalkan.
Tentu Sukir sangat paham kondisiku, sakitku. Sudah tiga tahun ini aku didera penyakit dalam hingga nyaris lumpuh, bahkan untuk berjalan pun harus ditopang orang lain.
“Aku tidak akan pergi kemana pun. Kalau waktuku tiba, aku akan tetap di sini. Dekat dengan ibu-bapak, dengan kakek-nenek, dan para paman maupun keponakan yang telah pergi mendahului. Pasti mereka menyambutku dengan sangat senang karena kami bakal berkumpul kembali meski dalam kondisi yang berbeda. . . .!” jawabku dengan suara lirih.
Kulihat satu persatu wajah mereka. Bapak dan empat anak yang penuh harap. Aku hanya dapat memiringkan kepala dengan tubuh terbaring di atas bale-bale beralaskan kasur tipis.
“Jangan berkata begitu, Bu. Memang tidak ada orang yang mampu menghindar dari kematian. Namun rasaku tidak akan secepat itu. Separah apapun penyakit yang ibu derita, masih ada harapan kalau ibu sendiri penuh semangat untuk sembuh. Dan di luar pulau sana kukira ibu akan mendapatkan kesembuhan.. . . . .!” gumam Sukir seperti tak bosan-bosan membujuk.
My Diary
Begitulah yang terjadi. Aku tidak dapat mencegahnya. Dan mereka punya alasan yang sangat kuat. Permintaanku yang terakhir, agar semua mau minum teh hangat bersamaku mereka penuhi. Satu per satu anggota keluargaku itu datang ke kamarku yang sempit. Aku sudah menyediakan baki tadi, kuambil dari lemari perkakas dapur. Enam buah cangkir porselin dengan tatakannya, kusiapkan dengan susah payah. Bau teh hijau meruap sengit memenuhi ruangan.
Lalu dengan aba-aba mereka mengangkat cangkir teh. Lalui menyeruputnya dengan cepat. Air teh yang hangat, manis dengan gula aren, agak kecut karena kutambahi perasan jeruk nipis, dan tentu juga ada rasa yang entah apa. . . . Tapi kukira betul, racun itu sangat tidak berasa apapun. Terbukti suami dan keempat anakku tidak ada yang sempat protes. Mereka satu persatu bergulingan di lantai. Mulut berbusa, mata mendelik, dan suara dari tenggorokan mereka seperti hewan usai digorok. Sedangkan kondisiku sendiri. . . . .?
My Diary
Kalau saja tindak kriminal itu betul-betul aku lakukan, pasti aku sudah berakhir di penjara. Membusuk, dan mati perlahan-lahan. Sangat perlahan-lahan. Tapi itu hanya bayanganku saja, kenyataannya akulah yang harus menyeruput teh manis rasa aneh itu beberapa hari setelah mereka pergi.
Mungkinkah itu ulah mereka, atau justru oleh tanganku sendiri. Aku tidak tahu, tidak ingat, tidak peduli. Kutuliskan ini pada halaman terakhir dalam buku harian ini tentang rasa syukurku karena dianugerahi penyakit berat. Sebab itu mengharuskanku banyak bertobat, mengubah perilaku jahat, dan terutama bersabar serta selalu ikhlas.
Dan pagi ini tiba-tiba apa saja yang ada di depanku terasa sungguh-sungguh pepat, padat, hitam, dan senyap! Aku tak tahu mengapa.
Bandung, 3 Februari – 13 April 2016
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan artikel berikut
Dan silakan bergabung dengan group FB https://web.facebook.com/groups/Fiksiana.Community/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H