My Diary
Begitulah yang terjadi. Aku tidak dapat mencegahnya. Dan mereka punya alasan yang sangat kuat. Permintaanku yang terakhir, agar semua mau minum teh hangat bersamaku mereka penuhi. Satu per satu anggota keluargaku itu datang ke kamarku yang sempit. Aku sudah menyediakan baki tadi, kuambil dari lemari perkakas dapur. Enam buah cangkir porselin dengan tatakannya, kusiapkan dengan susah payah. Bau teh hijau meruap sengit memenuhi ruangan.
Lalu dengan aba-aba mereka mengangkat cangkir teh. Lalui menyeruputnya dengan cepat. Air teh yang hangat, manis dengan gula aren, agak kecut karena kutambahi perasan jeruk nipis, dan tentu juga ada rasa yang entah apa. . . .  Tapi kukira betul, racun itu sangat tidak berasa apapun. Terbukti suami dan keempat anakku tidak ada yang sempat protes. Mereka satu persatu bergulingan di lantai. Mulut berbusa, mata mendelik, dan suara dari tenggorokan mereka seperti hewan usai digorok. Sedangkan kondisiku sendiri. . . . .?
My Diary
Kalau saja tindak kriminal itu betul-betul aku lakukan, pasti aku sudah berakhir di penjara. Membusuk, dan mati perlahan-lahan. Sangat perlahan-lahan. Tapi itu hanya bayanganku saja, kenyataannya akulah yang harus menyeruput teh manis rasa aneh itu beberapa hari setelah mereka pergi.
Mungkinkah itu ulah mereka, atau justru oleh tanganku sendiri. Aku tidak tahu, tidak ingat, tidak peduli. Kutuliskan ini pada halaman terakhir dalam buku harian ini tentang rasa syukurku karena dianugerahi penyakit berat. Sebab itu mengharuskanku banyak bertobat, mengubah perilaku jahat, dan terutama bersabar serta selalu ikhlas.
Dan pagi ini tiba-tiba apa saja yang ada di depanku terasa sungguh-sungguh pepat, padat, hitam, dan senyap! Aku tak tahu mengapa.
Bandung, 3 Februari – 13 April 2016
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan artikel berikut
Dan silakan bergabung dengan group FBÂ https://web.facebook.com/groups/Fiksiana.Community/
Â