“Yap, bener, Bos. Tapi aku sedang sakit nih, tidak mampu narik. . . . . .” jawa Arjo memastikan bahwa suara di ujung sana tentulah langganan ojek sepeda onthel.
“Hei, dengar ya. Aku bukan mau pakai jasamu. Aku ingin kamu menemuiku siang ini. Jangan cari-cari alasan untuk menghindar. . . . .”
“Hallo. . . . . , siapa ini?’ Tanya Arjo mengejar.
“Haji Lolong. Temui aku di dekat kios buku Pasar Klengkeng, siang ini tepat pukul 13.00. Awas jangan menghindar. Kamu tahu sedang berhadapan dengan siapa. . . .!” Telepon segera dimatikan. Arjo tergagap oleh ingatan siapa Haji Lolong yang baru saja menelponnya.
Mampus kamu! Ucap hati kecil Arjo penuh kecemasan. Urusan kecil itu bakal menjadi runyam kalau salah mengelolanya. ah ya, tapi soal apa? Arjo merasa seperti tercekik. Oh, pasti soal kecelakaan kemarin, apaalagi?
“Masih dua jam lagi, masih ada waktu untuk mempersiapkan diri!” ucap Arjo lirih, kepada dirinya sendiri. Tidak ada rasa takut, apalagi menjadi pengecut. Itu bukan sifatnya. Begitupun tidak boleh ada yang salah, tidak boleh ada kekeliruan sedikit pun. Sebab jika salah bukan tidak mungkin nyawa melayang. (Bersambung)
Bandung, 24 Maret 2016
Sumber gambar : http://www.incredibleart.org/files/water3.htm