[caption caption="ojek sepeda onthel. Sumber gambar : http://www.mendrofa.com/2013/07/11/photo-gallery-sepeda-ontel/"][/caption]Lelaki Tua dan Cinta
Rintik air hujan masih ramai, berisik dan berderik. Sejak siang tadi cuaca mengancam, dengan mendung tebal, gelap, dan menggelayut. Orang-orang berlarian di trotoar. Mencari peneduh meski sekedar rimbun daunan pohon, lalu kembali berlari ke shelter di depan sana. Perlahan malam pun merambat, terasa pepat sebab angin diam, dan sunyi mengambang tak menyentuh daun telinga.
“Aku akan menikahimu kalau saja ada hal yang bisa menjadikanmu suka. Tapi sungguh aku tidak punya apa-apa. Tentu kecuali sekadar sepeda onthel tua, itu modalku untuk memperpanjang nafas sehari-hari dengan dua bungkus nasi, bekal makan siang dan malam hari. . . . . .!” ucap lelaki itu nyaring berulang-ulang sambil melihat kearah jam tangannya. Jarum jam pendek sudah menunjuk angka tujuh.
Menunggu, itulah pekerjaannya. Tidak ada penumpang sejak petang tadi. Beberapa batang rokok di kantong sudah tuntas, maka yang tersisa tinggal lamunan. Tinggal kata-kata rayuan entah ditujukan kepada siapa.
Ia seperti dramawan sedang menghafal naskah, serupa bocah ingusan mengeja kata dalam deklamasi. Cuma memang suaranya sember, agak fals, juga nadanya teramat rendah. Sama sekali tidak merdu, cara bertuturnya terlalu bersahaja. Suara itu lebih mirip dengan dengkuran orang terlelap di gardu ronda meski hanya berbantalkan lengan sendiri.
***
Arjo Kemplu nama lelaki itu, usia jelang enam puluh tahun. Kemplu tambahan nama kecilnya sekadar panggilan akrab kawan-kawan orang Jawa. Artinya, antara nekat dengan pilihan hidup yang ugal-ugalan. Terserah saja orang mengartikan apa, tapi Arjo baik-baik saja. Tambahan nama itu jadi terasa unik malah. Sebab dengan tambahan Kemplu menjadi berbeda dibandingkan ribuan nama Arjo di luar saja. Yang ini jelas Arjo spesial, ya Arjo Kemplu!
Tentu saja Arjo menjadi tua dengan segala ciri ketuaannya. Namun sifat ketus dan sok tahu dan bahkan suka bergaya-remaja membuatnya mudah ditandai. Selebihnya tidak tampak sesuatu pun pada perwujudannya kecuali perut buncit, wajah bopeng, dan lengan tangan berbulu menjuntai panjang seperti balalai gajah. Ya, tinggi badanya hampir dua meter: ia begitu gagah, bongsor, dan meraksasa namun agak bungkuk.
Arjo sedang jatuh cinta, dan layaknya peristiwa asmara yang lain tidak ada kata malu, bahkan juga tidak ada kamus malu-maluin baginya. Mengikuti pepatah jadul, umur tua bukan hambatan. Yang ada semata lamunan indah, bayangan mesra, rasa bahagia, hati riang gembira-ria; meski orang lain mungkin menganggapnya menjijikan, agak kurang waras alias setengah gila.
Ya, bagaimana tidak? Sasaran asmaranya agak sembrono. Sebenarnya ia boleh saja jatuh cinta kepada janda bahenol di belakang terminal, atau gadis ramping berkulit sawo matang di kampung sawah. Tapi pasti bukan perempuan muda bernama Wasistra. Perempuan mantan model itu bukan kelasnya.
Betapapun Arjo tetaplah lelaki normal. Apalagi ketika bersitatap dengan perempuan langsing jelang tiga puluh tahun, wajah tirus, dan menyimpan senyum dengan seribu pesona itu. Namun pasti bukan pinangan Arjo yang ditunggunya meski ia telah menjanda hampir lima tahun dengan dua anak dari dua suami terdahulu. Bukan! Yang mengherankan sikap Wasi –panggilan akrab sehari-harinya- tidak menjadi ketus dan bersikap menyakitkan. Ia hanya berkata: “Bang Arjo, ada perempuan lain yang jauh lebih cocok untuk Abang. Dan itu bukan Wasi. Maafkan bila kata-kata saya ini tidak mengenakkan hati!”
***
Arjo pertama kali mendapatkan penumpang sangat cantik pada ojek sepedanya. Dan ia hafal betul siapa yang terpaksa harus menggunakan jasanya itu. Macet total lalu lintas dari semua arah menguntungkan pengojek sepeda. Metropolitan sudah biasa begitu. Dan itulah kesempatan satu-satunya untuk mengungkap perasaan terpedam kepada perempuan cantik siapapun.
“Abang memang bukan lelaki yang banyak kelebihan. Tapi abang punya berlimpah perhatian dan kesetiaan. Kalau saja Neng mampu melihat dengan lebih seksama, maka akan Neng jumpai ketulusan yang ada di dada Abang. . . . .!” ujar Arjo Kemplu sambil menggenjot pedal dengan suara dikeraskan.
Jalanan agak menanjak, terik matahari menghardik, dan perut kempisnya mulai keroncongan tak tertahankan. Arjo berpikir, mungkin dengan melepas kata-kata gombal desakan naluri mengunyah dan menelan apa saja sebagai pengganjal perut dapat diredakan. Sayangnya harapan itu sama sekali salah.
Lusiana –nama perempuan cantik di boncengan- jangankan menjawab, mendengarkan omongan ngawur itu pun tidak. Ia sedang sibuk melambai-lambaikan tangan pada beberapa kenalan di balik kaca mobil mewah yang terjebak macet. Sekadar fans, kenalan lama, atau rekan seprofesi, mungkin ada Wasistra juga di sana, entah!
Ada aksi ricuh demo mahasiswa di depan gedung dewan perwakilan rakyat di sebelah jalan lain di depan sana. Dampaknya semua jalan dilanda macet total, mobil dan sepeda motor tidak dapat bergerak. Hanya sepeda onthel yang meluncur, itu pun di trotoar untuk pejalan kaki yang bebas melenggang. Dan Lusiana banyak pasang senyum tanpa perasaan apapun.
***
Waktu tinggal tiga puluh menit lagi untuk dimulainya acara Bincang Jelata pada stasiun tv Nayaka petang itu. Wasi dengan senyum mengembang sangat yakin tidak akan telat. Setahun terakhir ia sukses membawakan acara itu. Dan tidak pernah telat. Karenanya Bang Arjo dan entah berapa puluh jelata lain tanpa sadar terhipnotis pada sosok dan karakter Wasi. Perempuan itu tak segan memberi hadiah cepika-cepiki kepada setiap narasumber, siapapun yang dibawanya ke studio. Harapannya agar jalannya acara lebih hidup dan atraktif. Ia bersikap profesional, dan hasilnya memang tampak nyata.
Ternyata jarak masih cukup jauh. Tak urung kekuatiran menggelayuti pikiran juga. “Agak cepatan dikit, Bang.. . . .!” teriak Wasi sambil menyolek pinggang Bang Arjo.
“Dapat hadiah cepika-cepiki, nih?” spontan Arjo menyahut sambil menoleh ke arah penumpangnya.
“Boleh, tapi nanti lain kali kalau Abang jadi tamu di Bincang Jelata. . . . .”
“Syaratnya apa sih, Neng, untuk masuk kesana?” Arjo penasaran juga untuk mengejar sekadar cepika-cepiki itu. Bahkan siapa tahu lebih angan-angannya selama ini terwujud.
“Gampang, Bang. Bikin cerita sensasi dulu di media baru boleh mengajukan diri jadi narasumber!”
“Sensasi bagaimana ya?”
“Misal menolong penumpang ojek sepeda yang mau dirampok, lalu terjadi pergulatan, dan para perampok dapat dikalahkan meski Abang mengalami luka-luka.. . . . .!”
“Sampai begitu?”
“Atau, Abang sedang narik penumpang seorang artis atau public figure, lalu datang mobil nyelonong hingga menabrak, dan itu ramai menjadi liputan media. . . . . .!” jelas Wasi dengan bersemangat.
Arjo ciut. Itu syarat yang tidak saja berat, tapi hampir tidak mungkin. Masak sih harus pakai sandiwara segala. Tampilnya di tv belum tentu terlaksana, tapi ditangkap Polisi hampir pasti. Arjo tersenyum sendiri dengan kecut.
Lepas dari kekecutannya, tuturan Wasi yang penuh semangat, membuat Arjo merasa diri makin gagah-muda dan perkasa saja. Ia tiba-tiba merasa mendapatkan jalan termudah untuk meraih buah sangat ranum di kebun tetangga. Kayak Galih dan Ratna, atau Romi dan Juli dalam film romantis lawas banget. Air ludahnya pun tertelan tanpa terasa. Gumamnya dalam hati, kalau memang ada cinta tidak akan pergi kemana. . . . . ..
“Begitu ya, Neng. . . . .!” dengus Arjo agak terbata-bata.
Arjo tidak menyadari nafas tuanya, tidak cukup hati-hati mengendalikan stang sepedanya. Bola matanya yang berbinar-binar itu seperti sedang bermimpi mengemudikan mobil mewah keluaran mutakhir. Karuan saja laju sepeda dengan penumpang berboncengan demikian menjadi oleng, jalan tak rata, di ujung sana trotoar menghilang yang mengharuskannya menukik keluar trotoar ke arah jalan beraspal. . . . . Dan gedubrakkkkk!! (Bersambung)
Bandung, 15 Maret 2016
Sumber gambar : http://www.mendrofa.com/2013/07/11/photo-gallery-sepeda-ontel/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H