[caption caption="gerhana matahari total - 9 maret 2016"][/caption]
Hidup kita ini seringkali terasa rutin, begitu-begitu saja, dan bahkan tidak berubah. Hari-hari yang berlalu tidak berbeda dengan hari ini, dan mungkin juga nanti. Begitu juga dengan alam semesta dan segenap sunatullah yang tergelar di dalamnya.
Tentu pendapat di atas tidak tepat, dan cenderung salah. Kalaupun kita keukeuh pada pendapat bahwa hidup ini rutin dan membosankan, ternyata Allah sering memberikan hal-hal yang berbeda, salah satunya dalam peristiwa gerhana. Gerhana matahari total yang dapat dilihat pada 12 provinsi di tanah air kemarin (9/3/2016) menegaskan sesuatu yang berbeda itu.
Tidak ada, Berbeda
Fenomena setiap hari yang kita anggap rutin adalah pergantian siang dan malam. Siang berarti ada matahari, dan tidak ada bulan. Begitu sebaliknya, malam ada bulan dan tidak ada matahari. Ada kata ‘tidak ada’ di situ padahal ‘ada’. Hanya saja bulan dan bumi mengitari orbitnya sehingga pada saat tertentu setengah bagian bumi tidak melihat bulan dan matahari (malam hari saat bulan mati), melihat salah satu (siang atau malam), atau melihat keduanya (pada pagi hari sering bulan masih terlihat).
Pada peristiwa gerhana matahari kemarin jadi agak rancu untuk mengatakan ‘ada’ dan ‘tidak ada’, sebab waktunya hanya sekitar empat menit pada waktu gerhana total. Uniknya kedua benda langit itu ada namun ditandai dengan kondisi yang berbeda: matahari bersinar terik, sedangkan bulan berwujud benda hitam yang terus merangsek untuk menutupi keseluruhan permukaan matahari.
Sekedar perbandingan ukuran Mayahari dengan diameter 1.400.000 KM, Bumi mempunyai diameter 12.750 KM. Sedangkan diameter bulan  2/7 diameter bumi, atau sekitar 28,57% diameter bumi. Dalam gerhana matahari kemarin posisi bulan (dengan ukuran sekitar sepertiga diameter bumi) menutupi seluruh permukaan matahari (ratusan kali diameternya dibandingkan besar bumi).
Waktu yang sekitar empat menit itu mampu ‘meniadakan’ bulan sekaligus matahari. Suasana seperti malam (suhu, gelap, dsb.), dan itu ditandai pula dengan perubahan perilaku satwa (hewan malam maupun hewan siang). Waktu sependek itu pun –lebih jauh dari sekedar fenomena alam- mampu memberi gambaran pada kita tentang apa yang ada dan tidak-ada, apa yang nyata dan apa yang semu, apa yang mestinya dikejar mati-matian dan apa yang boleh ditinggalkan atau diabaikan.
Jadi sekali lagi, gerhana matahari kemarin –jika kita resapi dengan sepenuh hati- memberi sesuatu yang berbeda.
[caption caption="Masjid Al Ukhuwah Bandung"]
Menonton, Sholat
Bagi umat islam yang tidak berhalangan -atau punya kepentingan tertentu- menjalankan sholat gerhana hukumnya sunah muakad, hampir wajib. Sholat dengan dua rekaat dengan empat kali membaca Al Fatihah dan surat, serta empat kali rukuk  itu untuk wilayah Bandung kemarin dilakukan sekitar pukul 07.00 WIB. Diawali dengan takbir-tahmid-tahlil, sholat, lalu khutbah, dan bersedekah (tanpa adzan dan iqamat).
Sementara bagi orang lain (termasuk muslim) ada yang memilih menonton fenomena alam yang menunjukkan kemahakuasaan Allah SWT dalam mengatur dan memelihara semua ciptaannya, termasuk keteraturan benda-benda langit (bintang, planet, bulan, tatasurya, dll.). Menonton langsung di luar rumah, di lokasi-lokasi yang tidak terhalang dan lokasi ketinggian ke arah matahari terbit), atau menoton siaran langsung di layar televisi.
Namun tidak semua orang pada lokasi pemantauan gerhana matahari yang beruntung dapat melihat proses peristiwa alam yang menakjubkan itu karena terhalang mendung. Juga di Bandung (meski tidak dilewati gerhana matahari total), mendung menggelayuti di atas kota. Tidak ada yang dapat dilihat.
Menonton detik-detik krusial pada peristiwa gerhana matahari total, atau sholat sunah berjamaah di masjid, merupakan dua hal yang harus dipilih.Â
Pentutup
Gerhana matahari kemarin membuktikan pada kita banyak hal yang berubah, bergeser, dan tentu juga tidak sama. Posisi dalam satu garis antara bumi, bulan dan matahari (yang berputar pada orbit masing-masing) suatu ketika terletak pada posisi itu.
Peristiwa itu mengharuskan kita berpikir, dan terus berpikir. Berpikir tentang aneka ciptaan, dan terlebih kepada Sang Pencipta sendiri. Berpikir pula di mana posisi manusia, di mana posisi kita, dan tentu juga bagaiaman kita menempatkan Sang Maha Segala atas kita. Kalau hal-hal seperti itu tidak membuat kita mawas diri, merendah dan merasa diri kecil, serta tetap merasa  tidak sanggup memenuhi aturan (perintah dan larangan) Allah; maka dengan cara apa lagi kita dapat melembutkan hati kita masing-masing.
Demikian sekadar catatan kecil, sekaligus sebuah ingatan tentang gerhana matahari pada 9 Maret 2016. Terimakasih telah sudi menyimak. Mohon maaf jika kurang berkenan.
Bandung, 10 Maret 2016
Sumber gambar :
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H