Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nasihat Novelis Stephen King: Menulis Bukan untuk Mencari Uang

7 Februari 2016   06:16 Diperbarui: 29 Februari 2016   00:21 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sosok Stephen King - novelis. Sumber: litreactor.com"][/caption]Saya tersentuh membaca tulisan seorang Kompasianer yang merasa terhina bahkan dilecehkan karena honor tulisan artikel web, online, atau artikel blog sangat rendah. Tersentuh, mungkin sedikit terharu. Mendapati kenyataan pahit.

Uang seratus tiga puluh ribu rupiah untuk mengganti kerepotan-kesulitan-keletihan membuat 40 artikel. Sungguh itu dirasakan sangat tidak sepadan dengan jerih payah yang sudah terlanjur dikeluarkan. Terhina? Adakah penjelasannya?

Merenung dan Mencari Uang
Saya mencoba merenung, dan sekilas-sekilas mengingat nasib diri sendiri akhirnya. Saya sering marah pada diri sendiri, kenapa juga repot-perot-perih-rintih mau menulis di blog gratisan. Kenapa pula? Jadi sebenarnya masih mendinglah dibayar, berapapun, sebab banyak blog yang menerima tulisan dengan sukarela saja, sama sekali tidak ada bayaran.

Bayarannya –kalau boleh disebut bayaran- ya rasa bangga, rasa terhormat, terkenal/dikenal, banyak teman, dan dapat berbagi dengan teman-teman. Nilai itu boleh jadi jauh lebih tinggi dibandingkan bayaran berapapun. Setidaknya, bila kita menanam kebaikan suatu ketika kelak bakal memanen kebaikan pula.

Ah, tapi masak sih berkutat sampai begitu rupa dibiarkan merasa? Apa dikira orang-orang sudah tidak perlu penghasilan, tidak perlu uang untuk makan/minum, beli pulsa, beli bensin? Kalau keahliannya semata menulis apa harus terus berpuasa? Tapi mengapa juga mencari uang dengan menjadi penulis.

Bukankah saat ini setiap orang sudah menjadi penulis (minimal status), sudah menjadi fotografer (minimal selfie), sudah menjadi pengamat (bahkan menjadi haters dan lovers permanen). Bukankah sudah terpuaskan dari sana? Kenapa juga mikirin duit? Hehehh!

Bukan Mencari Uang
Kata ‘mencari dan mendapatkan’ hampir semakna. Namun prosesnya sangat berbeda. Dan dengan ‘bahasa’ yang khas ada penulis yang mengatakan bahwa mencari uang dengan/dari menulis adalah salah.

Lalu bagaimana dengan profesi jurnalis, copywriter, penerjemah buku, penulis scenario? Bagaimana pula dengan pekerjaan juru ketik kantor, tukang ketik skripsi, dan juga penulis artikel maupun fiksi di media massa?

Hal itu dikemukakan novelis Amerika Serikat Stephen Edwin King. Dalam bukunya Stephen King on Writing, novelis dengan lebih dari tiga puluh  buku best-seller di dunia itu menyatakan: menulis bukanlah untuk mencari uang, menjadi terkenal, mendapatkan teman kencan, menjadi mapan, atau memperoleh banyak teman. Pada akhirnya, menulis adalah untuk memperkaya hidup orang-orang yang akan membaca karyamu dan memperkaya hidupmu sendiri pula. Tujuannya adalah bangkit, sembuh, dan mengatasi keadaan.

Namun bila kita membaca keseluruhan buku memoar dengan gaya autbiografi itu tentu tidak sulit memahami bahwa pernyataan itu mengandung maksud edukatif sangat baik. Ya, maksudnya asah dan tingkatkan kemampuanmu membaca dan menulis hingga setinggi mungkin untuk suatu ketika uanglah yang mencarimu (bukan sebaliknya).

Membaca dan Kreativitas
Membaca adalah pusat kreatif kehidupan seorang penulis. Ya, itulah pelajaran Stephen King paling awal bagi setiap penulis: membaca. Lengkapnya berbunyi, “Kalau kamu ingin menjadi penulis, ada dua hal yang harus kaulakukan: banyak membaca dan banyak menulis”.

Dalam pengertian khusus membaca berarti berkutat dengan bacaan. Seorang novelis pasti hanya membaca novel (selain tulisan lain bukan novel yang dijadikan materi dalam novel yang akan ditulis). Namun membaca dalam pengertian luas tentu belajar memahami apa saja di sekitar kita dengan segenap keunikan dan perbedaanya, manusia lain, mahluk lain, segala sebab-akibat peristiwa, bahkan juga peristiwa alam maupun ilmu keakhiratan.

Stevie sendiri membaca 70 hingga 80 judul novel per tahun. Itu berarti setiap minggu rata-rata satu setengah buku harus dibacanya. Pelajaran apa yang dapat dipetik dari sana? Ditulisnya, “Tiap buku yang kaubaca mengandung pelajaran, dan sering buku yang jelek jauh lebih banyak memberikan pelajaran daripada buku yang bagus.”

Demikianpun membaca buku yang bagus harus lebih sering dilakukan. Sebab buku bagus mengajarkan kepada setiap calon penulis tentang gaya tulisan, narasi yang indah, pengembangan alur cerita, penciptaan tokoh-tokoh yang meyakinkan, dan penuturan yang benar.

Lalau bagaimana dengan pelaksanaan ‘banyak menulis’? Sebaiknya bacalah sendiri saja buku terbitan tahun 2000 di New York dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 2005 itu. Kiat tentang menulis dengan berbagai teknik dan pendekatan dibeberkan Stevie. Penulis kelahiran Porland, Maine, AS tahun 1947 itu dinilai banyak media terkemuka sebagai penulis yang murah hati membuka seluruh rahasia kepenulisan yang selama ini dilakukannya.

Penutup
Sekali lagi supaya lebih afdol, bacalah sendiri saja buku itu. Ya, buku itu sudah dipajang di rak buku murah toko buku Gramedia! (kalau belum kehabisan). Baca, cermati, resapi, ikuti, dan pasang target lebih tinggi dan terus lebih tinggi. Hingga suatu ketika kita sebagai penulis tidak lagi mengejar-ngejar uang dari tulisan yang dibuat. Sebab nanti (entah kapan, dan apakah masa itu betul-betul akan datang) uanglah yang bakal mengejar-ngejar kita. Hahaha...absurd, ya?

Banyak buku panduan menulis dapat kita baca pada banyak buku pintar. Namun motto ‘bekerja keras dan bekerja cerdas’ harus cepat dilakukan. Mudah-mudahan kita semua menjadi penulis hebat. Tapi bila sementara ini tulisan kita memang belum dibayar. Jangan mata duitan, tahan dulu keinginan menerima imbalan uang dari pekerjaan yang hampir tiap orang mampu melakukannya ini. Dan teruslah berdoa.

Tulisan ini sebagai ucapan selamat pada diri sendiri karena telah menulis 200 artikel fiksi dan opini pada blog Kompasiana. Hampir dua tahun perjalanan pada 16 Februari depan. Menasihati diri sendiri masih tetap menjadi pilihan. Sukur-sukur orang lain mendapatkan manfaatnya pula. Terimakasih untuk yang sudah meluangkan waktu menyimak tulisan ini. Selamat pagi. Salam kreatif.

Bandung, 7 Februari 2016
Sumber gambar: di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun