Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Den Bhaghoese dan Rumah Sendiri

15 Januari 2016   01:07 Diperbarui: 15 Januari 2016   01:41 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ingin kutulis sebuah puisi untuk Den Bhaghoese, atau sebuah kisah masa kecil, atau sekedar pengalaman sederhana. Begitu DB juga selalu menulis, selain spesialisasinya: panjat tebing dan naik gunung. Spontan, cekatan, dan responsif.  Dalam keterbatasan kemampuanku membaca artikel di Kompasiana, tulisan DB cukup banyak terbaca. Dan salah satunya kisah-kisah berdasarkan keterusterangannya mengikuti jejakku untuk tak malu menuliskan kisah masa kecil.

Puisi itu berbunyi: Merayapi dinding tebing tak lebih berbahaya// dibandingkan merayapi dinding hati// mendaki ketinggian alam tak seganas// ketinggian ambisi, namun bagimu memilih pergi// sungguhpun berat jejakmu tak mungkin//diberati, ditangisi . . . . . .

Ingatan tentang DB, meski belum lama juga perginya, mestinya membuat siapapun lebih berinstrospeksi, mawas diri. Pasti juga bagi DB. Ia pergi untuk menempati rumah sendiri , tidak lagi beramai-ramai di asrama, atau di rumah kos, atau di rumah penampungan pengungsi, atau istilah lain entah. Rumah sendiri untuk berkreasi, berproduksi, dan berkontemplasi, serta aneka komunikasi. Meski mungkin rumah itu masih terlalu sederhana dan belum sepenuhnya ideal, keputusannya tegas. Ia  mengikuti beberapa penulis lain yang telah mendahului berangkat.

Pilihan, Klaim Kebenaran

Pilihan itu –apapun sebab dibelakangnya- pasti memunculkan rasa prahatin, menyayangkan, mencemaskan, atau membiarkan saja, tidak peduli. Pilihan itu dianggap lumrah, dan tidak perlu dibesar-besarkan. Untuk lebih jelas bacalah tulisah Mas Ahmad Maulana mengenai komunikasinya dengan Den Bhaghoese/DB melalui inbox terakhir dan keputusan yang sudah diambil.

Sebagaimana dengan Kompasianer lain, saya tidak akrab dengan siapapun, pun dengan DB. Tetapi keterbukaannya dalam berpendapat dan kejujuran ketika melakukan hal-hal tertentu dalam konteks penulisan, menjadikannya cepat akrab dengan siapapun.

Jadi betapapun saya mencoba berbaik sangka dengan kepergian itu, sebenarnyalah terasa ada sesal, ada sesak di dada, ada nada sedih, dan entah apa lagi. Saya tidak melihatnya hitam-putih, salah- benar, karena toh siapapun tidak mau menempati sisi salah. Begitupun pasti ada manfaatnya bila kita coba berempati dengan cara menempatkan diri pada sisi DB dengan segala ‘klaim kebenaran’ yang mungkin membuatnya mengambil langkah itu.

Tinggi dan rendah

Ada dua kata yang menjadi penyebab, dan bila keduanya digabungkan tak lain yang muncul adalah sebuah kontradiksi. Apalagi bila dikonfirmasi, dan bahkan dipertentangkan. Tinggi dan rendah yang saya maksudkan perihal daya dan upaya untuk membuat sebuah tulisan, untuk konsisten terus menulis, dan terutama juga sekedar ‘tepuk tangan/acungan jempol/puja-puji dengan aneka variannya’,  dan bukan sekedar  materi.

Menulis itu perlu waktu, pikiran, kesempatan baik, munculnya ide, kesehatan, dan bahkan keberanian menomorduakan hal apapun yang lain. Tiap penulis sebenarnyalah berpacu dengan dirinya sendiri. Ini ngobrol soal disiplin diri, namun lebih lanjut pada pembuktian seberapa kualitas dan kapasitas diri coba dibuktikan lewat tulisan, bahkan harga diri.

Persoalan itu ternyata tak sepenuhnya terkait dengan diri seseorang, sebab ada sesuatu di luar sana yang sangat-sangat mempengaruhi pendapat itu. Pihak lain pastilah Kompasiana sebagai media online yang membuat aneka cara-acara, lomba, rivalitas, hingga ‘intrik’ dan ‘reward’,  atau hal lain serupa itu, agar sebanyak mungkin Kompasianer aktif berkompetisi  dan terperangkap dalam bayang-bayang gagah berupa predikat mentereng sebagai penulis blog  yang paling ini atau paling itu.

Semakin tinggi intensitas menulis maka harapan akan makin riuhnya acungan jempol/komentar, dan penilaian melanda  gegap-gempita, terlebih jika tulisan semakin seru, heboh, lebai, dan istilah lain entah.

Ketika harapan tinggi itu tak ter-raih, bahkan tak tersentuh, maka membuncahlah perasaaan gagal, perasan kalah, dan perasaan tersisih yang makin jauh. Jatuh pun dari ketinggian mengempaskan segenap harap yang terlanjur jauh melambung, untuk kemudian terjerembab di dasar di tempat terendah-.

Mundur, Kita

Jangan ada lagi penulis di blog keroyokan, beberapa pejabat publik pun akhir-akhir  ini punya kesadaran baru tentang arti dan hakikat mundur. Rasanya itu bukan semata pertanda kalah dan salah, atau sekedar marah, namun ada di sana rasa tanggungjawab.

‘Target pajak  yang tidak tercapai’ ,dan ‘kemacetan lalu-lintas yang sangat parah’ menjadikan dua dirjen menempuh langkah yang sama: mundur. Tentu persoalan DB sangat berbeda, namun substansi ‘mundurnya’ sama. Yaitu sama-sama berlatarbelakang pertaruhan rasa tanggungjawab.

Tanggungjawab terhadap hati nuraninya, terhadap keyakinannya, terhadap orang-orang maupun lembaga yang telah mempercayainya untuk menjadi se-ideal mungkin dalam kedudukannya. Saya membayangkan diri saya sendiri, bila dalam posisi DB, entah apa yang akan saya perbuat.

Penutup

Pada masa mendatang masih akan ada lagi Kompasianer yang memilih meninggalkan rumah besar ini. Mungkin saja, dan sulit ditolak.  Mungkin disebabkan penilaian pada  kondisi rumah yang dianggap tidak ideal lagi, tidak kondusif lagi, tidak familiar dan akrab lagi, atau tidak mewadahi aspirasi lagi. Atau alasan lain yang lebih sederhana: malas, tidak da waktu, perhatian tersita ke hal lain, dan banyak lagi. Entahlah,

Satu hal yang pasti, setiap peristiwa  membuka pembelajaran di dalamnya. Slogan ‘conneting and sharing’ di Kompasiana mestilah diperbaharui dalam pemahaman maupun pelaksanaannya agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi. Sekali lagi, mundur adalah peristiwa biasa. Mudah-mudahan diluar sana DB menemukan habitat dan lingkungan baru yang lebih ideal di mata dan hatinya. Entahlah. . . .

Bandung, 15 Januari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun