[caption caption="Mesin Tik"][/caption]Tiap hari kita disuguhi aneka akrobatik peristiwa, silat-lidah, hingga penggunaan berbagai logika. Berita media jadi ramai, media online heboh. Khalayak geregetan, ikut mumet/pusing memikirkannya.
Dari hasil liputan yang dimediakan itu, satu hal yang menarik antara lain soal pilihan dan penggunaan kata. Menarik untuk lebih dicari makna sebenarnya atau makna tersurat, atau makna disebaliknya/tersirat. Juga menarik untuk mengetahui motif dan alasan apa seseorang memilih kata-kata tertenti.
Masuk Angin
‘MKD masuk angin’, itulah judul berita sebuah media online kemarin (masuk angin). Menarik bukan semata karena peristiwanya, tetapi tentu saja soal pilihan katanya. Kata ‘masuk angin’ itu sudah digunakan pada beberapa media lain, media arus utama maupun media online.
Secara harfiah kata itu bermakna angin yang masuk ke dalam tubuh. Pengertian lain yaitu kondisi kesehatan yang tidak fit karena badan terasa meriang/panas-dingin, kepala pusing, berkeringat dingin, dan seterusnya. Sederhanya, masuk angin berarti sakit.  Benar atau tidaknya kondisi sakit para anggota dan/atau kelembagaan Mahkamah Kerhomatan Dewan DPR RI itu memang tergantung dari sudut pandang apa kita menilai.
Pilihan kata itu mestinya ditolak oleh para anggota ‘yang mulia’ MKD. Namun semuanya tergantung seberapa ‘mulia’ mereka menempatkan dan menghormati diri sendiri, juga seberapa gigih mereka menegakkan kehormatan lembaganya. Keputusan tegas MKD menentukan hal itu. Dan masyarakat akan tegas pula menilai apakah kata ‘masuk angin’ itu relevan atau lebay!
Â
Korban dan Pelaku
Dulu kata itu dapat digantikan dengan kata ‘korban’ dan ‘pelaku kejahatan’, yaitu dua pihak yang berseberangan kepentingan, dan sebenarnyalah sangat mudah dibedakan. Namun di tangan polisi dua kata itu menjadi rancu.
Dalam bahasa hukum disebutkan "Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang". (korban)
Tentu saja Kepolisian punya argementasi yang ‘mengharuskan’ memilih kata korban, dan bukan pelaku. Demikian pun jika kata itu tetap dipertahankan maka akan muncul penilaian buruk, bukan semata prasangka Polisi ‘tidak pintar’ atau ‘terlalu pintar’ karena bermain-main dengan pilihan kata yang tidak tepat, namun juga pertanyaan ‘ada apa disebalik itu sebenarnya?’.