Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demam Menulis Surat, Amar Ma’ruf Nahi Munkar

20 Oktober 2015   14:44 Diperbarui: 20 Oktober 2015   15:13 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itu soal identitas. Lalu ketentuan lain dalam surat-menyurat, yaitu adanya salam pembuka, ucapan salam dan doa/harapan kepada penerima surat. Dalam kaitan ini pada bagian akhir ada pula salam penutup, dan permintaan maaf apabila ada kata-kata yang salah dan ungkapan lain seupa itu. Namun pada tulisan di media sosial beradaan dua hal itu dianggap tidak penting. Orang mau cari cepat dan mudah, hingga menuliskannya bagian yang penting saja.Tidak perlu bertele-tele dan berbasa-basi.

Kemudian hal lain yang menjadi identitas surat, yaitu menggunakan bahasa yang santun, runtut, dan menyenangkan. Sementara pada kebanyakan tulisan pada media sosial tidak selalu patuh pada aturan lama itu, dan dianggap biasa saja.

Penulisan bergaya surat itu betapapun memang sudah menjadi masa lalu. Demikian pun ada beberapa hal yang perlu dipergunakan kembali. Itu dimaksudkan agar cara kita berkomunikasi melalui tulisan tidak kehilangan esensi sebagai cara untuk memberitahukan (informasi, berita), namun dengan cara yang sebaik-baiknya.

Surat Pertama, Ide Cerita

Saya menulis surat pertama kali secara tak sengaja. Kelas dua SMP waktu itu, bangku (tempat duduk dan meja tersambung) saya selalu kotor, penuh corat-corat dan kertas. Padahal tiap hari kelas dibersihkan oleh siswa yang piket. Awal tahun 1970-an itu sekolah kami pada sore harinya dipergunakan oleh SMA Swasta.

Pada suatu hari bangku tempat duduk saya sangat kotor. Kertas berceceran, ada bekas rautan pinsil, dan potongan kertas. Tentu ini menjadi pekerjaan pemilik bangku untuk membesihkan sebelum pelajaran dimulai. Saya begitu yakin pelakunya tentu siswa SMA yang duduk di bangku saya sore kemarin.

Maka dengan spontan saya tulis di sesobek kertas yang berisi ketidaksenangan saya pada perilaku jorok siswa yang masuk sore. Hanya dua atau tiga kalimat. Tanpa tujuan kepada siapa, tanpa identitas penulis. Isinya kata-kata marah saja. Saya lipat kecil kertas itu, lalu saya selipkan di lipatan laci meja bagian dalam. Dan keesokan harinya ternyata ada balasan. Kertas sesobek juga, isinya dengan nada bergurau menyatakan permintaan maaf. Dari namanya saya tahu ia seorang perempuan.

Sejak itu ditengah mengikuti pelajaran saya sering asyik menulis tentang apa saja.  Iseng dikala tidak fokus mengikuti pelajaran. Agaknya keras-kertas di selipan laci itu selalu berbalas. Sampai kenaikan kelas dan pindah kelas kami masih suka menyelipkan surat, dan tak pernah saling tahu secara fisik. Cerita itu menjadi ide cerita pendek yang saya tulis, dan dimuat di majalah remaja bernama Puteri, dan lama waktu kemudian ide yang sama menjadi cerita anak-anak di majalah Bobo.

Surat Sahabat, Redaktur

Menginjak masa SMA seperti orang lain saya juga punya beberapa teman pena. Tidak banyak karena malas juga harus menulis yang tidak jelas apa manfaatnya. Tapi satu hal yang pasti kegemaran saya menulis surat menjadikan saya terbiasa mengarang. Mencari-cari ide cerita dan kata-kata. Saya jadi terbiasa menggunakan gaya bahasa percakapan dan menguraikan hal-hal tertentu yang dibahas dalam surat.

Teman pena saya ada yang pengarang remaja, ada pula remaja dari negara tetangga, dan tentu saja teman sekolah sendiri. Kala itu pada beberapa majalah remaja terdapat rubrik teman pena, lengkap dengan identitas dan foto diri yang bersangkutan. Yang menggelikan pernah suatu ketika saya menulis surat kepada seorang remaja putri (nama dan fotonya meyakinkan seperti itu). Tentu lengkap dengan gombal-gombalan dari seorang cowok kepada seorang cewek. Tapi betapa malu saya ketika tahu orang itu adalah laki-laki. Maka sejak itu saya berhenti menulis surat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun