[caption caption="lelaki tua dan cucunya"][/caption]
Â
Assalamu’alaikum, Sobatku Mas Gik
Bagaimana kabarmu sekarang, Mas? Ah hai, semoga kamu sehat jasmani dan rohani, sehat pula secara sosial dan ekonomi. Jauhkan dirimu dari stress dan apalagi galau dan patah hati.
Â
Hari ini rupiah menguat tapi terjangan asap makin pekat. Kusarankan kamu  jangan membuat asap,  jangan pula membuat sekedar api untuk apapun. Apalagi api kemarahan, api asmara, atau malah api-api ora ngerti (bahasa Jawa: pura-pura tidak tahu).
Â
Oya, kamu masih ingat aku ‘kan? Aku takut kamu melupakanku. Kalau hari ini suhu tubuhmu masih meninggi, maka carilah cara tercepat untuk segera memadamkannya. Sebab jika tidak, aku was-was derajat kewarasanmu akan menurun drastis. Dan bila itu terjadi aku tidak tahu lagi bagian mana dari dirimu yang masih pantas untuk dipertahankan.
Â
Mas Gik yang baik,
Mudah-mudahan kamu masih ingat aku. Ini kembaranmu, seseorang yang sangat tahu dan mau tahu apa dan bagaimana dirimu. Kembaran yang dalam kepercayaan Jawa di sebut sedulur papat lima pancer, kakang kawah adi ari-ari. Seperti Dewa Ruci bagi Bimasena dalam dunia pewayangan.
Â
Surat ini sekedar turut bersimpati sebab sampai pada usia jelang enam puluh tak sesuatu pun yang pantas kau banggakan. Maka tepatlah bila kamu menyebut diri sendiri sebagai lelaki  yang selalu gagal, kalah, pecundang, dan kata lain serupa itu. Nikmati saja semua jerih payahmu selama ini: jerih payah? Adakah kata-kata itu dalam kamus hidupmu? Tidakkah kamu lebih akrab dengan kata malas, malu, mengalah, mimpi, dan menyembunyikan diri di zona aman?
Â
Namun dari semua kegagalan itu rasaku kamu masih punya satu harta berharga, yaitu sisa usia. Kalau saja kamu mampu memanfaatkannya, sebulan-dua bulan, atau setahun-dua tahun di akhir hayatmu, niscaya tidak perlu terlalu besar sesalmu nanti. Maka malam ini kunasehatkan padamu untuk mulai lebih ikhlas menerima kekurangan dan keterbatasan dengan justru bersyukur dan bersabar.
Â
Mas Gik saudaraku,
Takdirmu memang menjadi penjahat, dan ketika kamu punya banyak fasilitas untuk memenuhinya, maka tak terbayangkan betapa besar gunung dosa yang harus kau tanggung di pundakmu. Betapa luas dan dalam laut penyesalan kelak di alam kuburmu. Betapa pedih-perih siksa di padang mahsyar, bayangkanlah, bahkan neraka jahanam sudah tak sabar menunggumu dengan geram.
Â
Maka bersyukurlah bahwa kamu menjadi manusia gagal dan rombeng dan dekil, sehingga bahkan tidak satu keberuntungan pun mau singgah dalam sejarah hidupmu yang memprihatinkan itu. Camkan ini, dan mulailah bertekun diri untuk pasrah, menyerah, dan menggalang amanah.  Mulailah belajar membaca hakekat, belajar meninggalkan tawa dan terlena. Mulailah  untuk rajin menziarahi kebusukan lampau guna memperberat timbangan tobat juga khusuk bersujud siang-malam, menangisi kezaliman, dan berkeluh-kesah tentang kemungkinan tak ada lagi pintu tobat terkuak biar untuk sesaat.
Â
Begitulah nasehatku jika kamu mau membuka mata dan telinga, dan terutama jika kamu sanggup membuka nurani dari kebekuan hatimu. Ingatlah lagi aku kembaranmu, dan aku tahu persis siapa kamu.
Â
Sekali lagi, camkan ini. Aku tidak yakin lain kali masih mau berbaik hati menasehatimu. Betapapun aku sangat berharap, kata gagal yang menjadi sebutanmu mulai detik ini akan berubah dalam sebuah proses panjang menjadi kata berhasil, lulus, istiqomah, amanah, dan pada akhirnya husnul qotimah…! Insya Allah, aku mendoakanmu, aamiin….! Wassalamu’alaikum!
Bandung, 12 Oktober 2015
Sugiyanto Hadi
(nama pena Gik Sugiyanto HP, dan Wulansari)
Â
Sumber gambar   di sini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI