Â
Surat ini sekedar turut bersimpati sebab sampai pada usia jelang enam puluh tak sesuatu pun yang pantas kau banggakan. Maka tepatlah bila kamu menyebut diri sendiri sebagai lelaki  yang selalu gagal, kalah, pecundang, dan kata lain serupa itu. Nikmati saja semua jerih payahmu selama ini: jerih payah? Adakah kata-kata itu dalam kamus hidupmu? Tidakkah kamu lebih akrab dengan kata malas, malu, mengalah, mimpi, dan menyembunyikan diri di zona aman?
Â
Namun dari semua kegagalan itu rasaku kamu masih punya satu harta berharga, yaitu sisa usia. Kalau saja kamu mampu memanfaatkannya, sebulan-dua bulan, atau setahun-dua tahun di akhir hayatmu, niscaya tidak perlu terlalu besar sesalmu nanti. Maka malam ini kunasehatkan padamu untuk mulai lebih ikhlas menerima kekurangan dan keterbatasan dengan justru bersyukur dan bersabar.
Â
Mas Gik saudaraku,
Takdirmu memang menjadi penjahat, dan ketika kamu punya banyak fasilitas untuk memenuhinya, maka tak terbayangkan betapa besar gunung dosa yang harus kau tanggung di pundakmu. Betapa luas dan dalam laut penyesalan kelak di alam kuburmu. Betapa pedih-perih siksa di padang mahsyar, bayangkanlah, bahkan neraka jahanam sudah tak sabar menunggumu dengan geram.
Â
Maka bersyukurlah bahwa kamu menjadi manusia gagal dan rombeng dan dekil, sehingga bahkan tidak satu keberuntungan pun mau singgah dalam sejarah hidupmu yang memprihatinkan itu. Camkan ini, dan mulailah bertekun diri untuk pasrah, menyerah, dan menggalang amanah.  Mulailah belajar membaca hakekat, belajar meninggalkan tawa dan terlena. Mulailah  untuk rajin menziarahi kebusukan lampau guna memperberat timbangan tobat juga khusuk bersujud siang-malam, menangisi kezaliman, dan berkeluh-kesah tentang kemungkinan tak ada lagi pintu tobat terkuak biar untuk sesaat.
Â
Begitulah nasehatku jika kamu mau membuka mata dan telinga, dan terutama jika kamu sanggup membuka nurani dari kebekuan hatimu. Ingatlah lagi aku kembaranmu, dan aku tahu persis siapa kamu.