Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karena Kompasiana Saya (Kembali) Mencermati Bahasa Tulis

6 Oktober 2015   13:14 Diperbarui: 6 Oktober 2015   14:06 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa tulis beda dengan bahasa lisan, alasannya berbahasa lisan menggunakan berbagai bantuan, mulai dari mimik/wajah, gerak tangan dan tubuh, intonasi, dan banyak lagi. Berbahasa lisan masih mungkin dimengerti meski yang berbicara cadel, terbata-bata, diiringi isak-tangis/gelak tawa, dsb. Sedangkan berbahasa tulis tidak. Berbahasa tulis harus semata memanfaatkan rangkaian huruf menjadi kata dan kalimat, tanda baca, dan tanda-tanda lain/gambar. Dengan begitu berbahasa tulis relatif lebih sulit dibandingkan dengan berbahasa lisan.

Terkait dengan keinginan menulis di blog keroyokan Kompasiana, maka hal penting yang harus saya cermati kembali adalah soal bahasa tulis. Belasan tahun bekerja pada media elektronik menjadikan diri ini tidak terlalu hirau dengan: titik-koma, huruf kapital, ejaan, dan bahkan pilihan kata. Sebab bahasa yang digunakan televisi dan radio (meskipun berbentuk narasi) cenderung dibawakan sebagai (dengan intonasi) bahasa lisan (kalimat langsung), ditulis dengan huruf kapital, dan formal.

Sehubungan dengan menulis di Kompasiana, ada beberapa catatan yang perlu untuk saya bagikan.                    

Kesalahan, Kualitas

Membuat kesalahan diyakini sebagai tindakan yang sangat manusiawi. Namun membiarkan diri dijajah kesalahan, apalagi berulang, tebntu bukan sikap bijaksana. Persoalan pertama untuk tidak melakukan kesalahan pastinya meneliti dan cermat untuk mengetahui salah tidaknya, dimana letak kesalahannya, dan bagaimana cara memperbaikinya. Ini yang saya rasakan, dan hingga kini pun terus penasaran.

Sambil belajar, saya pun mengamati tulisan orang lain. Agaknya ada yang fasih berbahasa tulis, dan ada pula yang lebih rajin berbahasa tulis kemudian menuliskannya.

Lalu soal kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, ada yang sangat peduli (kalangan mahasiswa. Dosen), kurang peduli (menulis sambil terus belajar, dari bacaan maupun komentar, memanfaatkan fasilitas edit), dan tidak peduli (mudah-mudahan tidak ada). Meskipun mungkin sedikit orang yang bersikap tidak peduli, jika dibiarkan terus pastilah akan mempengaruhi kualitas keseluruhan tampilan blog.

Sebagai sesama warga blog Kompasiana, nama baik (dengan berbagai sebutan yang menandainya) harus ditanggung dan dikerjakan bersama, dengan kesadaran sepenuhnya. Tentu saja peran saling mengawasi, mengingatkan, menyindir, bahkan juga mengajari (dengan cara sehalus mungkin) menjadi kewajiban kolektif.

Mempelajari, dan Menuliskannya

Membaca dengan kecepatan sedang, bahkan kurang, memberi kesempatan pada kita untuk memahami bukan semata makna/maksud dan isi suatu tulisan, namun juga mencermati kebahasaannya. Tentu saja ini bacaan berupa tulisan berita-opini-reportase pada media arus utama (suratkabar), yang ditulis oleh wartawan professional . dibelakang wartawan atau jurnalis itu ada redaktur maupun dan bahasa yang enjdikan suatu tulisan kredibel dari sisi pertanggungjawaban kebenaran isi maupun kebahasaannya.

Untuk mengkritisi tulisan di media sosial sesekali saja saya lakukan, karena alasan penulisnya (sebagian besar) memang memposisikan diri sebagai awam. Bahkan ada yang sengaja menggunakan bahasa awam dan logat tertentu (pilihan kata, gaya penulisan, hingga rasa bahasanya), untuk maksud gaul, lebih komunikatif dan akrab, dan seringkali penuh canda.

Demikian pun karena relatif lebih banyak membaca tulisan di media sosial (baca Kompasiana), saya sering gatal juga untuk tidak nyinyir meski bukan bermaksud memberitahu, apalagi menyalahkan. Saya pernah menuliskan tentang kata: hanya (harus ada kata lain yang menunjukkan jumlah lebih banyak, kepemilikan harga lebih kaya, dsb sebelum kemudian menggunakan kata hanya untuk jumlah atau kepemilikan yang lebih sedikit), digilir (kasus perkosaan, yang saya rasakan terlalu implicit, padahal dapat digantikan kata lain yang lebih halus), bapak-anak (dua kata keterangan yang tidak menjelaskan siapa, mestinya disebut jati diri salah satu meski hanya dengan inisial nama. Misal R dan anaknya merampok…….., atau B dan bapaknya digerebek……), almarhum/ almarhumah (kata keterangan ini hanya dipergunakan untuk menceritakan sesuatu kejadian pada waktu orang yang dimaksud memang sudah meninggal (kata itu tidak perlu dipakai bila menceritakan suatu peristiwa ketika ybs masih hidup. Contoh: Almarhum A tiga bulan lalu mengalami stroke (pada waktu mengalami stroke A belum meninggal, sehingga kata ‘almarhum’ dihapus).

Meski tidak langsung menulis tentang kebahasaan, setiap tulisan saya (sekali lagi dengan kemampuan yang ada, dan bukan ahli bahasa) saya mencoba untuk berbahasa sesuati ketentuan. Misalkan penulisan suku kata di dan pada, penggunaan kata dengan, para judul menulis jumlah tidak dengan angka, membedakan tanda koma (,) lalu titik-koma (;) dan titik (.), dan seterusnya.

Korektor-Editor-Penyunting

Berbahasa tulis meski seseorang menggunakannya setiap hari, selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, tidak serta merta menjadi baik dan benar. Terlebih bila orang  yang bersangkutan tidak peduli, tidak mencermati tulisan orang lain, tidak mempelajari ketentuan yang berlaku, dan paling sering karena menulis dengan terburu-buru, atau karena kepentingan tertentu yang tidak ideal (komersial, politik, hukum, dlsb.).

Banyaknya bahasa lisan atau bahasa percakapan yang dipergunakan dan atau dituliskan tidak menggunakan kata-kata baku) bukan hal yang tabu dipergunakan, namun harus ditandai dengan huruf miring.

Dengan beberapa uraian saya yakin suatu ketika nanti Kompasiana memiliki seorang ahli bahasa (yang bertindak sebagai korektor, editor, penyunting, artikel) dan menuliskannya seminggu atau dua minggu minggu sekali. Ia dapat menjadi tempat bertanya dan mendiskusikan kemungkinan terjadi perbedaan pendapat anara para penulis.

Tulisan dari ahlinya itu pasti akan sangat ditunggu dan dijadikan patokan untuk setiap penulis. Dengan demikian ada kesamaan pemahaman mengenai pilihan kata, penggunaan frasa, maupun tata kalimat yang (sesuai ketentuan) baik dan benar. Bila hal itu terwujud menjadi keniscayaan kelak semua tulisan/artikel di Kompasiana makin bagus, mengikuti kaidah jurnalistik maupun penulisan popular, dan tak kalah jauh dibandingkan dengan tulisan pada media arus utama.

Penutup

Berkompasiana yang bagi orang lain memberikan banyak keuntungan, kemajuan, keberhasilan, dan berbagai pangalaman/pengetahuan baru; bagi saya mendapatkan tambahan wawasan, yaitu kebahasaan yang (relatif) makin baik. Itu berarti pula saya ikut menjaga (seberapapun kecil), dan tidak sebaliknya ikut merusak Bahasa Indonesia.

Seperti setiap kali, kiranya tulisan sederhana ini bermanfaaat terutama bagi diri sendiri. Lebih dari itu bila berkenan menyemangati kita semua untuk lebih peduli dan cermat untuk memperbaiki aspek kebahasaan kita dalam menulis di Kompasiana.  Sebagai pensiunan saya tidak lagi wajib menggunakan bahasa baku (dalan tulisan maupun lisan), namun karena Kompasiana saya harus mencermati bahasa tulis. Sekian saja, mohon maaf dan masukan sekiranya ada yang kurang tepat atau salah. Terimakasih, selamat siang, wassalam.

Bandung, 6 Oktober 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun