Kang Jajang tidak menanggapi. Mak Odah tak lain seorang mak comblang yang gigih. Karena ulahnya juga dulu banyak jejaka dan duda yang diberi janji dapat memperisteri Sulfah binti Damin.
Matahari pagi bersinar terik. Langkah lelaki itu tak dikendorkan. Wajah dan tengkuk serta sekujur tubuh Kang Jajang berkeringat. Tinggal sekitar sepuluh menit lagi pejalanan ke proyek perumahan. Ia harus menyeberangi lintasan kereta api.
Tiba-tiba mata Kang Jajang melihat dua orang teman kerjanya berboncengan sepeda onthel melaju di jalur seberang. Kang Jajang melambaikan tangan. Kedua teman itu ganti melambai sambil mengucapkan sesuatu yang tertelan keriuhan lalu-lintas pagi.
Lambaian tangan itu agaknya pesan terakhir Kang Jajang pada kehidupan yang dijalaninya. “Awas, minggir! Hei jangan nekat. Kereta sudah dekat, Pak, cepatlah lari….lari….!” Dari arah belakang ada lokomotif menyeret sembilan rangkaian gerbong penumpang meluncur kencang.
Pagi meriah dihiasi teriakan, pekik, dan celoteh hingar-bingar. Kerumunan orang di samping penyeberangan jalan utama dengan rel itu memacetkan arus lalu-lintas. Suara klakson, deru sknalpot, ditingkah dengan caci-maki saling hujat tak terelakkan. Namun tubuh Kang Jajang terlanjur tergolek bermandi darah.
Ketika seorang Polisi Lalu-Lintas datang dan mencari identitas, didapatinya di dalam dompet lusuh di saku celana korban. Isinya KTP, selembar uang lima ribuan rupiah, dua koin limaratus rupiahan, serta sebuah sobekan kertas koran berisi puisi karya penyair Sapardi Djoko Damono. Judulnya ‘Aku Ingin’: