Di dapur sempit rumah petak itu Kang Jajang pamit pada Sobri yang sedang mencuci piring. Sobri berdiri seperti hendak mengatakan sesuatu. “Roti yang bapak bawa kemarin enak sekali…….!” Kang Jajang mengelus kepala anaknya itu dan menjawab. “Itu pemberian majikan bapak di kota. Tapi tidak tiap hari ia punya roti untuk kita…..!”
***
Sambil berjalan pikiran Kang Jajang melayang pada nasib anaknya. Sobri sudah tujuh tahun namun belum bersekolah. Bocah itu merasa malu sebab teman-teman sebayanya sudah kelas dua SD. Tiap pagi mereka gaduh, ribut soal seragam, bekal makanan, pekerjaan rumah, dan kegiatan sekolah hari ini. Namun Sobri, seperti namanya, harus bersabar. Ia tidak mungkin menolak permintaan ibunya untuk terus merawat, entah sampai kapan nanti.
Lelaki itu menyeberang jalan yang padat. Lalu masuk jalan kampung untuk menempuh jalan pintas. Tidak perlu memutar. Beberapa orang yang dikenalnya memberi salam dengan lambaian tangan. Mas Mangku penjual ayam bakar berkomentar. “Belum sembuh juga isterimu, Kang? Dulu mau kujodohkan dengan Mirta si bandar beras, tapi kamu jual mahal….hehe”.
Kang Jajang ikut terkekeh sambil bergumam sesuatu yang tak jelas. Selintas ia teringat betapa perempuan gemuk-hitam yang ditawarkan Mas Mangku tak canggung menayai langsung kesediaan Kang Jajang jadi suami. Tapi mana ada laki-laki lajang yang tiba-tiba harus punya enam orang anak tiri dan seorang isteri yang tambun sepuluh tahun lebih tua. Sudah pasti ia lebih memilih Sulfah binti Damin yang cantik.
Gangguan berumah tangga seperti tak bosan mengujinya. Minggu lalu Mak Odah tetangganya datang dan mengatakan sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikirannya. “Isterimu Sulfah binti Damin akan sembuh kalau kamu ceraikan. Ia tidak cocok jadi isterimu. Manurut penglihatanku, sakitnya karena ulah seseorang. Mungkin pesaingmu dulu yang tak mau melihat kalian hidup berbahagia….!”