Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Karena Kompasiana, Makin Sulit Saja Saya Mendapatkan Ide Menulis

15 September 2015   11:22 Diperbarui: 15 September 2015   23:23 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Stasiun KA Kluang - Malaysia"][/caption]

Sumber gambar : http://www.urbansketchers.org/2010/10/day-trip-to-kluang-malaysia.html

Tidak perlu menyalahkan siapa dan apapun, namun benar adanya bahwa minggu-minggu ini makin sulit saja saya mendapatkan ide untuk menulis. Rasanya orang lain begitu mudah menuliskan semuanya, rasanya orang lain menulis bagus-bagus belaka, dan rasanya lagi diri ini sudah mentok untuk dapat menulis sekedar tulisan sederhana seperti setiap kali.

Kalau boleh jujur alasan utama dan pertama problema saya ini sebenarnya ya soal disiplin menulis yang belum akrab betul dijalani. Disiplin menulis itu bukan hanya persoalan berdisiplin untuk mengetikkan sesuatu di atas keyboard, tapi lebih dari itu juga mendapatkan materi tulisan apa yang mudah dan cepat dituliskan. Ukurannya bukan menarik atau bagus untuk mengumpani perhatian pembaca, tapi sekedar mudah dan cepat. Dan itu bagi saya sungguh merepotkan.


Disiplin Menulis

Masih terkait dengan mudah dan cepat itu maka selama ini pilihan saya tak lain menulis fiksi, cerpen dan puisi. Sebab di sana tanpa referensi dan tinggal mengamati kejadian maupun peristiwa sehari-hari untuk diterang-gamblangkan dengan logika fiktif.

Pengalaman selama ini menulis fiksi cuma masalah menuliskan judul. Satu atau dua kata. Dan dari sana sebuah titik tolak cerita mulai tergambar di kepala. Ambil judul misal Rel, atau menjadi dua kata Di Atas Rel, atau menjadi tiga kata menjadi Selingkuh di Atas Rel. dan seterusnya. Maka alur cerita mulai menjadi makin jelas, dan tinggal menuliskannya pelan-pelan sambil menyeruput air kopi panas. Sementara bagi yang suka sebatang rokok kretek boleh saja tersumpal di antara bibir dan terus mengepulkan asap beracun. Jangan lupa daun jendela dibuka lebar agar asap pembuat polusi ruangan tertiup angin keluar rumah dan tidak menyebabkan batuk atau bahkan sesak nafas.

Itu soal gampang. Tapi sekali lagi disiplin menulis belum lekat benar. Jadi kalau pun seribu kali dibilang mudah, mudah, dan mudah; maka yang dirasakan dan ditakutkan justru kesulitan, dan tidak lain kecuali kemalasan untuk bertemu dengan apa yang disebut kesulitan.

Padahal disiplin menulis hanya perlu diawali dengan niat: menulis satu alinea sehari, lain waktu bertambah menjadi satu halaman sehari, demikian seterusnya menjadi satu cerita tiga halaman sehari.  Kalau membuat puisi mulailah dengan menulis cerita datar, seperti orang ngobrol soal apa saja. Lalu ganti satu-dua kata dengan kata lain yang awalnya terasa tidak-nyambung, sehingga rangkaian kata tadi menjadi aneh-langka-dan sukar dimengerti. Biarkan tetap seperti prosa, atau dipotong-potong pendek

Jangan dulu bicara soal mutu, tidak juga bicara soal tuntutan ini-itu. Yang penting produktivitas dan kuantitas dulu. Rasakan, jalani, dan bahkan nikmati. Sayangnya betul-betul disiplin menulis itu belum saya jadikan sohib kental. Ia masih sebatas tamu asing yang sesekali datang, menjenguk dan ngobrol pendek hal-hal ringan, dan selebihnya lama ia bersembunyi tidak takut dibilang congkak dan sok sibuk.

 

Rumput Tetangga Lebih Hijau

Kalau menganalogikan hambatan menulis dengan cerita selingkuh, atau cerita percintaan dan pengkhianatan, tentu saja sebutan ‘rumput tetangga lebih hijau’ itu tidak sulit dipahami maknanya. Itu artinya kita tidak cukup ‘pe-de’ dengan kondisi sendiri, tidak cukup bersyukur, dan celakanya tidak cukup tangguh untuk memperjuangkan idealisasi sebagai penulis.

Banyak melihat ke luar jendela itu bagus, juga membandingkan seberapa ‘hijau’ rumput tetangga dengan rumput di halaman rumah sendiri juga bagus; namun yang tidak bagus adalah tidak berani menatap realitas, cenderung tidak punya sudut pandang lain kecuali yang konvensional karena perasaan takut-minder-sempit itu. Maka apapun dan bagaimana pun milik orang lain rasanya menjadi serba ‘wah’.

Dalam kaitan dengan soal tulis-menulis akhirnya tinggalah diri ini termangu-mangu di depan komputer sambil tidak tahu apa yang harus dilakukan. Cangkir kopi sudah dingin, isinya pun tinggal ampas hitam, lalu rokok di bungkusan menyisakan puntung di ujung filter, sudah berpindah menggunung di dalam asbak.

Sementara itu sinar matahari di luar jendela makin keras teriknya, makin siang menyilaukan matta, makin panas menyengat, dan tubuh ini menjadi lelah karena terduduk kaku berlama-lama. Tidak ada sesuatu pun yang tertulis di layar monitor. Karena tiga atau empat kali beberapa alinea yang sudah dituliskan harus dihapus, dan dihapus lagi, karena dirasa buruk, tidak menarik, atau buntu!

Daya  tarik tulisan orang lain selalu mempesonakan. Lalu asyik lagi membaca hasil karya orang lain. Wuih, alangkah indah mereka menuliskannya. Ceritanya menarik dan menukik, bahasanya lincah dan bergaya, temanya aktual, dan…..pokoknya hebat deh. Kekaguman pada tulisan itu ternyata tidak memotivasi diri sendiri untuk kembali menulis, padahal sekedar menulis yang mudah dan cepat, sungguh terlalu….

 

Penutup

Itulah pengalaman saya menemukan diri ini terseok dan tertatih meniti jalan pedang…eh jalan keterampilan mengetik di Kompasiana, padahal sudah berupaya sedemikian rupa, bahkan dengan mempermudah target menjadi sekedar mudah dan cepat.

Orang lain barangkali punya kesulitan yang berbeda. Atau jangan-jangan tidak ada. Tapi saat ini kendala saya memang hanya dua, tidak punya disiplin menulis dan terlalu kagum pada tulisan orang lain sehingga terlena tidak menulis apa-apa.

Sampai di sini saya menyesali dan menyayangkan kekurangan saya itu. Namun tiba-tiba –ya, saya baru sadar- saya telah menulis sesuatu yang bukan habitat saya: non-fiksi. Tidak penting betul bobot dan daya tariknya, pokoknya menulis, dan ini rasanya sedikit mengobatan rasa ketidak-‘pe-de’-an saya dalam menulis.

Begitulah. Tentu saja pada kali lain saya akan menemukan kesulitan lain yang tak kalah pelik, jauh lebih rumit, mungkin saja. Tapi setidaknya hari ini saya sudah menulis, meski cuma catatan harian, hanya catatan sangat pribadi untuk tidak perlu diketahui orang lain. Karenanya mohon maaf jika ada yang terlanjur membaca, dan merasa tidak berkenan. Kompasiana telah menjadikan saya harus menulis, apapun dan bagaimana pun, bahkan pada soal-soal yang sangat memalukan: ketidakbecusan saya dalam menulis. Salam hormat, salam hangat, salaman….!  

---

Tulisan sebelumnya:

  1. Tiga cerita kematian, dari yang sederhana hingga tanah hitam - puisi
  2. kucing-hitam-dan-bayangan-mang-dadap

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun