Rumput Tetangga Lebih Hijau
Kalau menganalogikan hambatan menulis dengan cerita selingkuh, atau cerita percintaan dan pengkhianatan, tentu saja sebutan ‘rumput tetangga lebih hijau’ itu tidak sulit dipahami maknanya. Itu artinya kita tidak cukup ‘pe-de’ dengan kondisi sendiri, tidak cukup bersyukur, dan celakanya tidak cukup tangguh untuk memperjuangkan idealisasi sebagai penulis.
Banyak melihat ke luar jendela itu bagus, juga membandingkan seberapa ‘hijau’ rumput tetangga dengan rumput di halaman rumah sendiri juga bagus; namun yang tidak bagus adalah tidak berani menatap realitas, cenderung tidak punya sudut pandang lain kecuali yang konvensional karena perasaan takut-minder-sempit itu. Maka apapun dan bagaimana pun milik orang lain rasanya menjadi serba ‘wah’.
Dalam kaitan dengan soal tulis-menulis akhirnya tinggalah diri ini termangu-mangu di depan komputer sambil tidak tahu apa yang harus dilakukan. Cangkir kopi sudah dingin, isinya pun tinggal ampas hitam, lalu rokok di bungkusan menyisakan puntung di ujung filter, sudah berpindah menggunung di dalam asbak.
Sementara itu sinar matahari di luar jendela makin keras teriknya, makin siang menyilaukan matta, makin panas menyengat, dan tubuh ini menjadi lelah karena terduduk kaku berlama-lama. Tidak ada sesuatu pun yang tertulis di layar monitor. Karena tiga atau empat kali beberapa alinea yang sudah dituliskan harus dihapus, dan dihapus lagi, karena dirasa buruk, tidak menarik, atau buntu!
Daya tarik tulisan orang lain selalu mempesonakan. Lalu asyik lagi membaca hasil karya orang lain. Wuih, alangkah indah mereka menuliskannya. Ceritanya menarik dan menukik, bahasanya lincah dan bergaya, temanya aktual, dan…..pokoknya hebat deh. Kekaguman pada tulisan itu ternyata tidak memotivasi diri sendiri untuk kembali menulis, padahal sekedar menulis yang mudah dan cepat, sungguh terlalu….
Â
Penutup
Itulah pengalaman saya menemukan diri ini terseok dan tertatih meniti jalan pedang…eh jalan keterampilan mengetik di Kompasiana, padahal sudah berupaya sedemikian rupa, bahkan dengan mempermudah target menjadi sekedar mudah dan cepat.
Orang lain barangkali punya kesulitan yang berbeda. Atau jangan-jangan tidak ada. Tapi saat ini kendala saya memang hanya dua, tidak punya disiplin menulis dan terlalu kagum pada tulisan orang lain sehingga terlena tidak menulis apa-apa.
Sampai di sini saya menyesali dan menyayangkan kekurangan saya itu. Namun tiba-tiba –ya, saya baru sadar- saya telah menulis sesuatu yang bukan habitat saya: non-fiksi. Tidak penting betul bobot dan daya tariknya, pokoknya menulis, dan ini rasanya sedikit mengobatan rasa ketidak-‘pe-de’-an saya dalam menulis.