Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Para Mualaf, hingga Ajakan Selektiflah Melakukan Copas

6 Agustus 2015   01:26 Diperbarui: 6 Agustus 2015   01:26 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak semua muslim berkesempatan menempuh pendidikan, formal maupun nonformal keagamaan, yang mumpuni. Tidak semua muslim berkenalan dengan agama, yang juga berarti ‘ageman’ atau pakaian, sejak balita dan secara intens. Maka alangkah banyak pemahaman tentang perilaku keberagamaan para muslim-muslimah yang tidak tepat, kurang pas, ngawur, salah, bahkan salah kaprah.

Manakala usia sudah dewasa, bahkan senja, namun pemahaman beragamaannya kurang maka sudah barang tentu akan sangat mengkhawatirkan mengenai kualitas dan kuantitas ibadah maupun muamalahnya. Dan itulah sebabnya pepatah lama ‘belajarlah terus sampai ujung usia’ menjadi sangat perlu untuk dijalani.

Kepada siapa belajar? Ya kepada yang berkompeten, para ajengan, ustad, ulama, tokoh agama, penghafal Al Qur’an, para sufi, hingga para mualaf. Banyak mengikuti pengajian, menghadiri ceramah agama, membaca buku-buku bermutu, dan berkawan dengan orang-orang yang bagus ibadahnya. Khusus untuk belajar kepada para mualaf tentu bukan semata mengenai ilmu agama (mungkin saja sudah luas dengan prespektif yang berbeda), karena kemungkinan terbesar ilmunya masih kurang. Lalu tentang apa?

Semangat mencari Ilmu

Begitu pentingnya arti niat dan tindakan mencari ilmu sehingga para malaikat pun mendoakan mereka. Ilmu dicari karena dengan ilmu yang memadai maka kualitas ketakwaan seseorang menjadi paripurna. Dengan itu pula semua amal ibadahnya bernilai sempurna pula.

Lepas dari soal akidah dan hidayah, seorang mualaf (bukan karena alasan perkawinan, dan berbagai pentuk paksaan/keterpaksaan, maupun soal praktis lain) telah mempertunjukkan semangat penuh kegigihan dan keuletan dalam mencari ilmu.

Para mualaf itu membandingkan teks maupun perilaku para penganut agama, mempelajari secara ilmiah atau setidaknya lebih intens, mendiskusikan dalam waktu lama, masuk ke dalam lingkup baru yang sama sekali tidak dikenalnya/asing, dan berbagai cara lain yang kadang terasa begitu berat untuk orang yang tidak bersungguh-sungguh. 

Bersungguh-sungguh

Beda dengan pilihan lain, bahkan pilihan untuk mendapatkan suami atau isteri, soal pilihan agama ini sangat kompleks dan rumit. Itu beda dengan berpindah tempat tinggal, pindah pekerjaan, ganti suami/isteri, dan hal lain serupa itu.

Kesungguh-sungguhan diperlihatkan/dituturkan para mualaf diantaranya dengan harus dijauhi orangtua dan keluarga maupun lingkungannya, dikucilkan, sulit mendapatkan pekerjaan, dan terutama dihina/dihujat bahkan dicelakai. Ujian yang berat itu sangat mungkin tidak tertahankan bagi pemeluk Islam tradisional.

Soal kesungguh-sungguhan ini seorang mubaligh (yang juga mualaf) menyampaikan bahwa memberi pengertian tentang konsep Islam kepada nonmuslim lebih mudah (lepas apakah yang bersangkutan kemudian mendapatkan hidayah atau tidak) dibandingkan dengan kepada orang yang mengaku muslim (yang tidak menjalankan rukun Islam secara utuh).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun