Dulu kala bocah di kampung, bulan puasa diisi dengan aneka permainan yang justru lebih seru, lebih berkeringat, yang memunculkan eratnya persahabatan. Setiap permainan disertai sendau-gurau, tertawa-tawa bahagia, meski tak jarang pecah tangis melengking nyaring karenanya.
Dulu kala bocah menahan lapar itu penuh harap untuk menyantap nanti semua yang ditemui. Maka ada aneka buah muda dicari, namun ketika maghrib tiba semua tak terjamah karena asem rasanya
Lalu sholat tarawih di mushola, berdesakan dan saling sikut. Sesekali bisik dan tawa tertahan karena ada yang usil memelorotkan kain sarung teman. Sedikit gaduh tak sudah manakala al fatihah Pak Imam harus disahuti dengan berteriak lantang….aamin, mengagetkan jamaah lain.
“Hebat nggak ceritaku. Jelek-jelek begini dulu aku juga rajin berpuasa, mengaji, berjamaah di mushola dan bertarawih kala bulan ramadhan. Tidak seperti kamu…..!” ujar Bang Madri nyinyir penuh kebanggaan, sambil menggeser letak duduknya di belakang kemudi angkutan kota yang ngetem.
“Biar kata abang dulu suka ngaji dan sholat, mana mungkin orang percaya. Sekarang saja kayak sarung rombeng, bolong-bolong. Mana ada orang sholat dua hari sekali? Mending gue, tidak pernah ngaji dan tidak pernah sholat……!” jawab Mang Dudung si kernet meringis, asal-asalan.
Siang pengap, penumpang sepi. Ngobrol saja sambil menunggu. Bang Madri yang slebor, dan Mang Dudung yang terlihat banyak problem. Mang Dudung tidak pandai bercerita tentang masa kecilnya, apalagi mengeluh soal kesulitan hidupnya. Tapi kalau soal pemahaman agama, biar kata sedikit ia punya, dan ia diam-diam menjalaninya.
Ditengah kejamnya kehidupan awak angkutan di jalan raya, setiap orang harus pandai-pandai membawakan diri kalau tidak mau dimusuhi. Begitupun selalu ada niatan dalam hati Mang Dudung untuk memberi nasehat, biarlah kalau memang dunia tidak terkejar janganlah urusan akherat dibuat berat.
***
Ramadhan tak bosan datang bahkan kala umur makin mulur hingga gigi tanggal dan uban memutih luntur. Tak bosan ia, laksana tamu yang membawa bongkahan permata bernama rahmat, magfirah, dan ampunan. Lalu sesiapa berebut hikmah mengisi antrian panjang dalam berpantang
Meski ada yang makan di warung di balik bentangan kain sedangkan kaki-kaki mereka dibiarkan terlihat berdesakan. Entah karena ada halangan, atau sekedar belum sampai berita ancaman pada mereka. Bahkan banyak yang shaum, namun tidak mampu mengendalikan semua mau dan semua senang seperti hari-hari lampau.
“Tuhan menyukai orang-orang tua yang rajin beribadah dan gampang melakukan amaliah. Namun lebih disukai kaum muda yang juga melakukannya. Kalau orangtua memang sudah seharusnya begitu. Perjalanan dan pengalaman sudah jauh, da tentu cerita kelam diantaranya yang bermakna menzolimi diri sendiri. Itu mestilah disadari akibatnya untuk kemudian bertobat dengan sebenar-benarnya tobat……!” ujar Pak Haji Salimin dalam taushiah singkat setelah sholat subuh.
Bu Sastri, Tante Dwi, Mbak Mikun saling bisik seraya terkikik, lalu melirik pada Mbah Muyati yang duduk terantuk-antuk. Ada genangan air mata di pelupuk perempuan tua tujuh puluh tahun itu. Kesedihannya bertambah-tambah setiap hari Lebaran menjelang.
Sepuluh tahun silam di akhir Ramadhan anak sulungnya membujuk untuk ikut ke kota. Berbelanja, katanya. Lalu entah kenapa ia ditinggalkan begitu saja di tengah keramaian. Oleh karena kurangnya daya ingat, membuatnya lupa segalanya. Beruntung masih ada yang berbaik hati membawanya ke panti jompo, tempatnya kini ia bermukim.
***
Sebagaimana tamu yang telah habis membagikan semua oleh-oleh dan hadiah bagi setiap anggota keluarga si tuan rumah, maka waktu berpamitan pun segera tiba. Sepuluh malam terakhir, banyak yang berdiam diri dan melakukan aneka amalan ibadah di dalam masjid. Sepanjang waktu berdzikir, bermunajat, bertadarus, sholat, dan merenungi kemahaesaan Allah sebagai pencipta langit dan bumi, pengatur pergantian siang dan malam, dan pemberi rezeki kepada setiap mahluknya. Maka betapakah setiap mahluk, juga malaikat dan jin, bertasbih dan memuji tanpa henti.
“Sebagaimana tamu siapapun dia, apakah kita telah menjamunya dengan baik, Nak? Apakah kita telah memperlakukan dengan penuh rasa hormat, dan memuliakannya?” tanya Bu Hanifah kepada anak perempuan dan menantunya yang datang berkunjung.
Kedua anak yang ditanya tidak segera menjawab. Bukan tidak tahu harus menjawab apa, tapi mereka saling menunggu siapa yang harus menjawab. Dan akhirnya memang Astini si anak tunggal itu yang menjawab.
“Tidak sia-sia ibu dan almarhum ayah membekali Asti dengan ilmu agama, mengaji, bertingkah laku dan bertutur kata. Tidak sia-sia ibu mengarahkan Asti untuk memilih suami yang mendalami ilmu agama. Kami memperlakukan tamu istimewa bernama bulan suci Ramadhan ini persis seperti apa yang ibu ajarkan selama ini……!” jawab Astini dengan air mata berlinangan.
Mas Badri –suami Astini, yang duduk mendampingi isterinya- tak mampu membendung air mata pula.
Ibu, anak, dan menantu itu seperti terkena setrum serentak, jadi sesunggukan oleh rasa kasih-sayang dalam tuntunan agama. Mereka menangisi Ramadhan ini mungkin menjadi yang terakhir, sebab siapa tahu jatah umur tidak ada lagi. Mereka pun menangis khawatir terkendala untuk kembali menjadi fitrah.
Saat seorang bocah perempuan lima tahun berlari masuk rumah, ketiganya cepat menyeka air mata. Lalu merekahkan senyum, dan berkata-kata seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Ya, tentu kelak anak itupun harus diajari hidup beragama dengan baik, termasuk dalam menerima tamu istimewa bernama Ramadhan!
Bandung, 17 Juli 2015
==
Sumber gambar: Sholat tarawih berjamaah
Silakan melihat karya peserta lain di akun Fiksiana Community
Yuk bergabung di grup FB fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H