Bu Sastri, Tante Dwi, Mbak Mikun saling bisik seraya terkikik, lalu melirik pada Mbah Muyati yang duduk terantuk-antuk. Ada genangan air mata di pelupuk perempuan tua tujuh puluh tahun itu. Kesedihannya bertambah-tambah setiap hari Lebaran menjelang.
Sepuluh tahun silam di akhir Ramadhan anak sulungnya membujuk untuk ikut ke kota. Berbelanja, katanya. Lalu entah kenapa ia ditinggalkan begitu saja di tengah keramaian. Oleh karena kurangnya daya ingat, membuatnya lupa segalanya. Beruntung masih ada yang berbaik hati membawanya ke panti jompo, tempatnya kini ia bermukim.
***
Sebagaimana tamu yang telah habis membagikan semua oleh-oleh dan hadiah bagi setiap anggota keluarga si tuan rumah, maka waktu berpamitan pun segera tiba. Sepuluh malam terakhir, banyak yang berdiam diri dan melakukan aneka amalan ibadah di dalam masjid. Sepanjang waktu berdzikir, bermunajat, bertadarus, sholat, dan merenungi kemahaesaan Allah sebagai pencipta langit dan bumi, pengatur pergantian siang dan malam, dan pemberi rezeki kepada setiap mahluknya. Maka betapakah setiap mahluk, juga malaikat dan jin, bertasbih dan memuji tanpa henti.
“Sebagaimana tamu siapapun dia, apakah kita telah menjamunya dengan baik, Nak? Apakah kita telah memperlakukan dengan penuh rasa hormat, dan memuliakannya?” tanya Bu Hanifah kepada anak perempuan dan menantunya yang datang berkunjung.
Kedua anak yang ditanya tidak segera menjawab. Bukan tidak tahu harus menjawab apa, tapi mereka saling menunggu siapa yang harus menjawab. Dan akhirnya memang Astini si anak tunggal itu yang menjawab.
“Tidak sia-sia ibu dan almarhum ayah membekali Asti dengan ilmu agama, mengaji, bertingkah laku dan bertutur kata. Tidak sia-sia ibu mengarahkan Asti untuk memilih suami yang mendalami ilmu agama. Kami memperlakukan tamu istimewa bernama bulan suci Ramadhan ini persis seperti apa yang ibu ajarkan selama ini……!” jawab Astini dengan air mata berlinangan.
Mas Badri –suami Astini, yang duduk mendampingi isterinya- tak mampu membendung air mata pula.
Ibu, anak, dan menantu itu seperti terkena setrum serentak, jadi sesunggukan oleh rasa kasih-sayang dalam tuntunan agama. Mereka menangisi Ramadhan ini mungkin menjadi yang terakhir, sebab siapa tahu jatah umur tidak ada lagi. Mereka pun menangis khawatir terkendala untuk kembali menjadi fitrah.
Saat seorang bocah perempuan lima tahun berlari masuk rumah, ketiganya cepat menyeka air mata. Lalu merekahkan senyum, dan berkata-kata seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Ya, tentu kelak anak itupun harus diajari hidup beragama dengan baik, termasuk dalam menerima tamu istimewa bernama Ramadhan!
Bandung, 17 Juli 2015