Berbahasa jelas menggunakan kata. Dan kata ada banyak jumlahnya. Untuk satu maksud yang paling sederhana dapat menggunakan beberapa pilihan. Selain pilihan kata, pengguna bahasa juga mesti memilih menentukan menggunakan atau meghapuskan kata tertentu.
Dalam kaitan dengan itu dengan hanya mengandalkan naluri dan rasa bahasa, saya coba membuat koreksi kecil ihwal kebahasaan yang saya temukan. Sebelumnya minta kembali dikoreksi bila koreksi ini ternyata justru salah.
Hanya, Orang Tua-Anak Kandung
Suratkabar Pikiran Rakyat Bandung pada halaman pertama kemarin (3/7) memuat berita mengenai pecahnya persaudaraan karena rebutan warisan. Saya kutip kalimat kedua pada alinea kedua (ini versi cetak, sedangkan versi online sudah dikoreksi), sbb. : “Hanya lantaran harta yang diwariskan orangtuanya, dua anak kandungnya berseteru hingga berujung di Pengadilan”-1/
Ada dua hal yang perlu kita cermati pada kalimat itu. Pertama, penggunaan kata ‘hanya’. Dan kedua pada kata ‘orangtua dan anak kandung’. Kata ‘hanya’ di sana menjadi tidak tepat bahkan menggelikan karena nilai warisan yang diperebutkan bukan 100 atau 200 juta rupiah, namun 70 milyar rupiah. Bandingkan dengan berita lain tentang pertengkaran antar saudara kandung yang berujung pada kematian karena memperebutkan warisan yang nilainya jauh lebih kecil. Sekali lagi kata ‘hanya’ semestinya tidak perlu ada, alias dihilangkan.
Hal kedua yang saya anggap tidak tepat adalah pilihan kata ‘orangtua dan anak kandung’. Menyandingkan dua kata itu menjadi hal yang sangat lumrah dalam pemberitaan. Bsakan banyak judul berita menggunakannya. Misalnya: Ayah dan anak merampok, Paman melecehkan keponakan, Ibu dan anak terlibat perselingkuhan, dst. dll. Penggunaan kata keterangan itu menjadi rancu pengertiannya karena tidak jelas menunjuk pada siapa dengan siapa.
Sebagai perbandingan, ketika seseorang ditanya seorang pendatang (berjalan kaki, atau naik sepeda motor) tentang dimana tempatnya Kantor Pos terdekat misalnya (minta ancar-ancar untuk didatangi), maka jawabannya akan menunjuk pada satu tempat yang pasti (perempatan jalan, jembatan, pasar, masjid, nama gedung yang lebih tinggi/besar/terkenal, atau lebih mudah dikentarai dari jauh, atau tanda-tanda lain), tambahan: jalan terus/lurus sekitar 20 meter lagi, belok ke kanan/utara, di belakangnya, dan keterangan lain serupa itu).
Dengan dengan harus ada satu hal dulu sebagai ancar-ancar (untuk berita di atas dapat disebut nama/inisial, profesi atau ciri lain apa) dan baru kemudian menyebutkan kata keterangan, hubungan kekerabatan, dsb.. Dengan kata lain semestinya kalimat di atas diubah menjadi :
- “Lantaran harta yang diwariskan Abdul Kadir Djafar (almarhum), dua anak kandungnya berseteru hingga berujung di Pengadilan”, atau
- “Lantaran harta yang diwariskan orangtuanya, Abdul Halim Kadir (adik) dengan Abdul Rauf Kadir (kakak) berseteru hingga berujung di pengadilan”.
Catatan: Kata ‘hanya’ dihilangkan (kata ‘hanya’ mestinya dipakai bila didahulu dengan angka lebih besar sebagai pembanding). Contoh: ‘Amin dan Aman akhirnya berdamai dalam perebutan warta warisan senilai dua trilyun rupiah; sebaliknya Halim dan Rauf gara-gara ‘hanya’………!’
Kata ‘orangtua’ diganti dengan nama yang bersangkutan bila nama kedua anak kandung tidak disebut, atau kata dua anak kandung diganti dengan nama yang bersangkutan dan nama orangtua mereka tidak disebut.
Kata ‘dan’ yang memisahkan antara dua nama anak kandung itu digantikan dengan kata ‘dengan’. Penjelasannya dengan contoh: ‘Budi dan Dadang berkelahi di sekolah’, mestinya ‘Budi dengan Dadang berkelahi. . . .’. Hal ini akana terlihat jelas ketika Budi dibantu dua orang temannya, kalimanya menjadi : ‘Budi, Adi, dan Didi dengan Dadang bekelahi’.
Klenik, Almarhum
Pada artikel ‘Sang Inspirator dan Motivator Kompasiana’ (pinjam istilah Pak Tjiptadinata Effendi)-2/ Kang Pepih Nugraha di K, berjudul ‘Harian Kompas dan Perjumpaan dengan Mahluk Halus’,-3/ saya punya satu catatan dan satu koreksi. Ini tentu tanpa bermaksud mengurangi derajat kepiawaian dan keakuratan Kang Pepih dalam memberi bobot, nilai edukasi, maupun gaya penulisan yang bernas itu (meski diakui sendiri menulis sambil-lalu),.
Yang pertama pada kalimat: “Saya tidak bermaksud menulis catatan klenik berbau tahayul tentunya, sesuatu yang sangat dilarang di Harian Kompas”. Pada kalimat itu tidak perlu dibantah kebenarannya, para Ulama/Ustad tak bosan untuk menyitir Surat Al Baqarah ayat 2 dan 3 untuk selalu mengingatkan, yang terjemahannya sbb. ‘…………….petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib,……….’.
Namun tulisan itu akan berbau klenik bila peristiwa yang dialami pelaku ‘diangkat mahluk halus’ dikaitkan dengan peristiwa lain: ‘saya diterima sebagai pustakawan di HarianKompas’. Tapi tidak, dua peristiwa itu tidak dirangkaikan dengan ‘kata hubung’, alias berdiri sendiri-sendiri. Maka penjelasan Kang Pepih itu memang dibuktikan demikian.
Mengenai koreksi, terkait dengan dua kata pada kalimat yang dipergunakan Kang pepih, sbb: 1). Almarhum Ibu kemudian menanggapi, "Bukan waktunya barangkali, harus selesai dulu kuliahnya, nanti ada waktunya juga." 3). Bahkan almarhum ayah bersedia mengantarkan saya ke Jakarta pada testing pertama, secara saya tidak punya saudara dekat di ibukota.
Koreksi saya bukan pada arti kata ‘almarhum’ dan ‘almarhumah’, namun pada logika penggunaannya. Menilik pada peristiwa yang sedang dituturkan, kedua orangtua Kang Pepih pastilah masih segar-bugar dan sehat wal-afiat. Terbukti masih ‘menanggapi’ (ibu) dan ‘bersedia mengantarkan’ (bapak). Oleh karena itu kata ‘almarhum/almarhumah’ seharusnya tidak perlu ada. Untuk menjelaskan keduanya sudah meninggal dunia baik dengan menambahkan kalimat tersendiri.
Kesalahan serupa terjadi pada penggunaan kata 'mantan’. Beberapa kali saya membaca suratkabar, sbb. Mantan Presiden SBY tahun 2010 meresmikan…….., Mantan Presiden Megawati menjual aset……..’. Tentu tidak mungkin seorang mantan meresmikan, atau menjual aset. Dengan kata lain keduanya masih menjabat sebagai Presiden. Dengan demikian kata ‘mantan’ itu harus dihilangkan.
Bila pada naskah berita yang sama ada kata ‘presiden lain yang sedang menjabat’, maka di belakang nama para mantan itu cukuplah diberi keterangan angka tahun/periode menjabat.
Beberapa Koreksi Lain
-Masih terjadi kesalahan lain penggunaan kata ‘tetapi dan namun’, terutama pada berita bencana, kecelakaan, dan kasus kriminal. Kalimat yang hampir klise pada peristiwa kebakaran, diantaranya: ‘Tidak ada korban jiwa dalam kebakaran itu, tetapi kerugian ditaksir……..’.
Dengan mengunakan kata ‘tetapi’ secara tidak sadar penulis berita menyatakan bahwa nilai nyawa/jiwa dalam kejadian tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai materi. Dan itu salah. Kalau dua anak kalimat itu memang harus digabungkan maka dapat dipergunakan kata ‘sedangkan, sementara itu….’, yang sifatnya menyetarakan.
-Penggunaan kata ‘bernilai’ pada berita ‘Penangkapan Pengedar Uang Palsu’ juga masih sering terjadi. Jurnalis mestinya jeli/cermat dalam menggunakan kata itu. Bila uang palsu itu masih beredar di tengah masyarakat maka masih ‘bernilai sebagaimana nilai nominal yang tertera pada angka pada lembaran uang’. Misalnya berita tentang perkiraan jumlah uang palsu yang beredar. Namun bila sudah ditangan polisi, alias sudah terungkap sebagai uang palsu, memberitakannya dengan menghitung jumlah lembarannya dan berapa nilai nominalnya.
-Penggunakan kata ‘padahal’. Pada peristiwa kecelakaan seringkali korban diberitakan sedang merencanakan suatu kegiatan tertentu sebelum nyawa melayang. Pernah saya baca di suratkabar: ‘Korban tewas di rumah sakit, padahal dua minggu lagi ia akan melangsungkan pernikahan…..’. Tentu tidak mungkin si korban dihidupkan kembali (untuk kemudian dimatikan) semata-mata karena ia mempunyai rencana tertentu.
-Pemakaian kata ‘menutup’. Ini terjadi pada program berita televisi. Penyiar berita sering menyampaikan kalimat klise: ‘Berita tadi sekaligus menutup program berita (sebut salah satu judul program berita sebuah stasiun tv)……’ Padahal kita semua tahu Penyiar Berita/Host/Anchor/News Presenter atau apapun namanya itu yang mestinya membuka dan menutup acara, dan itu memang tugasnya. Agar penyiar berita tidak disebut pemalas, maka kalimat yang disampaikannya mestinya menjadi: ‘Berita/liputan/tayangan tadi menjadi bagian akhir pada……..!’ Penyiarlah tetap yang menutup dngan kata-kata: "Sekian berita malam ini. Terimakasih atas perhatian Anda, dst."
Penggunaan kata ‘merubah’. Sudah banyak diingatkan bahwa kata dasarnya adalah ‘ubah’, sehingga bila mendapatkan awal ‘me’ menjadi ‘mengubah’ bukan merubah. Karena tidak ada kata dasar ‘rubah’; yang ada adalah hewan berkaki empat sejenis anjing yang hidup di hutan benama rubah. Maka jangan mengatasnamakan hewan itu untuk kepentingan yang dia sama sekali tidak tahu-menahu. Pun tidak ada sesiapapun yang bersedia menjadi rubah, atau berperilaku layaknya rubah. Maka jauhkan kata merubah karena itu salah.
Penutup
Sekali lagi dengan bermodal sedikit pengamatan saya membuat tulisan ini. Tentu saja ulasan akademis dan ilmiahnya menjadi tanggungjawab para editor suatkabar/majalah/buku, para guru Bahasa Indonesia, dan ahli bahasa untuk menguraikannya. Apa yang saya tulis itu sekedar apa yang saya rasakan sebagai pembaca, dan sesekali menggunakannya.
Dengan menulis ini bukan berarti saya tidak rajin membuat kesalahan kebahasaan. Untuk kesalahan saya, yang terbanyak salah ketik –kurang, tambah, ganti huruf-, maka biarlah orang lain yang menuliskannya. Begitu saja koreksi untuk perbaikan, mohon maaf jika ada kesalahan. Selamat siang, terimakasih. Salam koreksi…eh, salam Kompasiana.
Bandung, 4 Juli 2015
==
Sumber gambar: http://poskotanews.com/2014/07/21/pendidikan-karakter-lewat-buku-bacaan-sd-tahun-1960/
===
Sumber tulisan:
1. http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/07/02/333281/sengketa-warisan-berujung-di-pengadilan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H